Jumat, 14 Oktober 2011

Pendekatan Wacana


Bab 2
Sejarah dan Faham dalam Kajian Wacana
  
2.1 Sejarah Singkat Analisis Wacana

Dalam tradisi Hindu pengakjian terhadap teks telah lama ada, utamanya teks Weda, yang sampai sekarang berkembang sebagai analisis wacana dalam konteks keagamaan (Samsuri, 1988:1). Di Eropa tepatnya Inggris, tahun 1935, John Rupert Firth pernah menganjurkan agar para linguis menelaah percakapan. Akan tetapi Firth sendiri banyak berfokus pada fonologi, dan anjurannya tidak diperhatikan orang.

Istilah analisis wacana  pertama kali diperkenalkan oleh Harris (1952) dengan mengkaji kaidah bahasa dan menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat dalam suatu teks dihubungkan oleh semacam tatabahasa yang diperluas (Cook, 1989:13), dan saat itu Harris banyak ditentang oleh para linguis Amerika yang sepaham dengan Franz Boas, Edward Sapir, dan Bloofield.  Menurut kelompok linguis tersebut, Harris melawan arus, dan kajian bahasa sepatutnya berfokus pada bentuk dan substansi bahasa itu sendiri, bukan aspek lain seperti yang dikaji Harris.

Tahun 1957,  T.F. Mitchell mengikuti saran Firth dengan meneliti proses jual-beli di suatu komunitas di Cyrenaica. Dalam analisis itu Mitchell dengan tegas memperhatikan aspek konteks sosial, sedangkan Harris justru masih ragu-ragu.

Di Eropa (terutama Inggris dan Jerman), tahun 1961 muncul tatabahasa sistemik yang banyak dipelopori oleh Halliday. Dalam kajiannya, banyak dilakukan analisis pengaturan tematik terhadap kalimat, hubungan antarakalimat, dan wacana. Ancangan ini sebenarnya telah lama disarankan oleh linguis Eropa, seperti Bronislaw Malinowski, Vladimir Propp, Mathesius, Karl Buhler, Louis Hjelmslev, dan Firth. Selanjutnya, di Perancis banyak berkembang analisis wacana dengan pendekatan semiotik, dengan tokoh-tokoh seperti Todorov, Barthes, Greimas, dan Eco.
Tahun 1964 di Amerika, Dell Hymes mengembangkan ancangan sosiolinguistik dalam pengkajian wicara, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang nantinya akan menjadi kajian wacana yang luas dan berkembang. Setelah itu, analisis wacana di Amerika diteruskan oleh ahli linguistik tagmemik, seperti Knneth Pike (1967) dan konsepsi yang dikembangkan lebih luas daripada Harris. Pada saat itu Pike menganjurkan bahwa penelitian bahasa yang tidak mengenal kamus dan tidak ada informan bilinggual,  dalam meneliti harus memperhatikan segala nuansa makna bahasa  dalam penggunaan, yakni konteks sosialnya.
            Awal tahun 1970-an banyak telaah filsafat mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filsof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam suatu konteks sosial, suatu kalimat tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara si penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5).
            Dalam kajian antropologi juga berkembang etnografi penuturan (etnografi komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya; seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi muncul kajian sosiologi mikro yang mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang dikenal etnometodologi. Kajiannya juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff. Tradisi analisis wacana benar-benar berkembang setelah tahun 1970-an. Teori-teori yang dirujuk sebenarnya berasal dari konsepsi lama (klasik) yang telah ada sejak 2.000 tahun yang lampau, serta teori-teori strukturalis bidang linguistik, poetik, antropologi dan psikologi pada akhir tahun 1960-an, yang pada umumnya diilhami pikiran para formalis Rusia dan strukturalis Ceko (van Dijk, 1985:1-2).
            Tahun 1980-an merupakan masa pemantapan bagi kajian analisis wacana. Pada era ini banyak bermunculan teori wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983), dan van Dijk (1985). Pokok persoalan atau fokus kajian pada era ini juga telah meluas, seperti tentang perbedaan gender, politik, emansipasi manusia dan masyarakat, dalam kaitannya dengan wacana. Demikian juga tahun 1990-an, misalnya munculnya tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough (1998).  Tahun 2000-an kajian wacana  berkembang lebih kaya, misalnya munculnya kajian  pengaruh gaya kognitif terhadap produksi wacana (Semino dan Culpeper, 2002).

 

2.2 Faham  dalam Kajian Wacana

1) Faham dalam Analisis Wacana
            Analisis wacana adalah sutau pengkajian terhadap unsur-unsur yang membuat suatu wacana koheren (Cook, 1994:6). Fokus kajian analisis wacana, menurut Crystal (1985) adalah struktur, yang secara alamiah ada pada bahasa lisan, misalnya: percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan tertentu. Pengertian analisis wacana di atas, masih dalam kategori pengertian dasar, karena pengertian tersebut terus berkembang. Ada tiga kelompok analisis wacana, yaitu aliran (a) positivisme-empiris, (b) konstruktivisme, dan (c)  pandangan kritis.
            Menurut faham positivisme-empiris, pengkajian analisis wanaca difokuskan pada keteraturannya, yaitu kegramatikalan kalimat dan kepaduan wacana. Karena menurut faham ini bahasa (wacana) adalah jembatan penghubung antara manusia dengan objek dunia luar, sehingga bahasa (wacana) perlu tertata dengan baik. Analisis wacana tradisi positivistik ini mempelajari aturan-turan yang harus dipenuhi oleh wacana agar suatu wacana baik. Dalam pandangan ini, paradigma subjek—objek komunikasi dipisahkan.  Analisis wacana model ini masih banyak dipengaruhi oleh pola pikir aliran transaksional, dalam memandang bahasa.
            Faham konstruktivisme dalam mengkaji wacana, berbeda dengan faham positisme-empirik. Dalam menelaah wacana, subjek—objek komunikasi tidak dapat dipisahkan. Pola pikir ini banyak dipengaruhi pemikiran fenomenologi. Dalam khasanah ilmu bahasa kelompok ini dikenal aliran interaksional (Wahab, 1998:69). Faham ini melihat subjek komunikasi dan hubungan sosialnya  sebagai aspek sentral. Subjek komunikasi dipandang sebagai pelaku yang mampu mengontrol wacana dengan  maksud-maksud tertentu. Setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna, pengungkapan diri, dan pembentukan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana model ini dimaksudkan sebagai analisis untuk membongkar maksud dan makna tertentu yang tersembunyi.
Faham kritis (pandangan kritis) dalam menganalisis wacana mempertimbangankan faktor kekuasaan, karena faktor ini berperan dalam membentuk jenis subjek (pelaku) dan perilaku yang mengikutinya.  Dalam proses produksi dan reproduksi wacana, subjek sangat berperan. Oleh karena itu, wacana yang dihasilkan perlu disikapi dengan kritis (dikritisi). Analisis wacana model ini berfokus pada kekuatan subjek dalam memproduksi wacana. Subjek dalam analisis faham kritis dianggab sebagai individu yang tidak netral, sehingga bahasanya pun juga tidak netral. Tujuan analisis wacana jenis ini adalah melihat secara kritis tentang: peran subjek tertentu, tema, perspektif yang dipakai, dan tindakan tertentu yang sedang dilakukan terhadap masyarakat. Karena perspektifnya yang selalu kritis, maka analisis wacana jenis ketiga ini disebut analisis wacana kritis.
Analisis wacana dalam mengkaji bahasa mempunyai sikap yang berbeda dengan linguistik kalimat. Data bahasa dalam analisis wacana berciri (a) bahwa bagian-bagian bahasa itu membentuk satu kesatuan (saling terkait), (b) mengutamakan pencapaian makna, sehingga kebakuan tatabahasa dinomorduakan, (c) bahasa hadir  dalam konteks tertentu, dan (d) data berasal dari hasil observasi (tidak dibuat-buat). Sebaliknya, data bahasa dalam linguistik kalimat, mempunyai ciri (a) kalimat-kalimat lepas, (b) tersusun berdasarkan tatabahasa yang benar, (c) tanpa konteks, dan (d) hasil pemikiran yang cenderung artifisial (Cook, 1994:12).

2) Pendekatan dalam Kajian Wacana
            Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya. Untuk memahami secara mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang. Ada lima macam pendekatan dalam mengkaji wacana, yakni pendekatan (a) pendekatan struktural, (b) pendekatan sosiolinguistik, (c) pendekatan pragmatik, (d) pendekatan tindak tutur, dan (e) pendekatan kritis atau dikenal dengan analisis wacana kritis (AWK).
            Pendekatan struktural dalam kajian wacana merupakan kelanjutan dari pola pikir strukturalime dalam kajian linguistik yang telah lama berkembang. Pendekatan struktural menganut faham positivisme-empirik. Pendekatan sosiolinguistik, pragmatik, dan tindak tutur dalam kajian wacana dipopulerkan ulang oleh Schiffrin (1994). Ketiga pendekatan ini menganut faham konstruktif. Kajian wacana dengan pendekatan kritis dipelopori oleh  van Dijck (1998).  Semino dan Culpeper (2002) menambahkan bahwa analisis wacana juga dapat mengkaji gaya kognitif penuturan wacana. Kajian ini menggunakan  teori psikologi atau psikolinguistik. Ini sebuah perspektif yang baru lagi dalam kajian wacana.
            Beberapa pendekatan dalam kajian wacana dapat dipakai secara bersamaan untuk mengkaji wacana sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Kajian interdisipliner yang bersifat majemuk ini juga dikenal dengan faham pascamodern (postmodernism). Faham pascamodern ini banyak diminati ahli karena hasil kajiannya relatif luas dan tidak terkungkung oleh satu disiplin kajian saja. 

(1) Kajian Wacana dengan Pendekatan Struktural
            Kajian wacana dengan pendekatan struktural berasumsi bahwa sebuah wacana adalah suatu struktur yang memiliki berbagai komponen yang saling bekerja sama. Tujuan utama kajian wacana dengan pendekatan struktural adalah menggambarkan substansi suatu wacana sebagai sebuah bangunan.  Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap komponen pembangun wacana dan hubungan antarkomponen (relasi “syn function”) pembangun wacana. 
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan struktural adalah unsur-unsur internal yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) kohesi wacana, (2) koherensi wacana,  (3) konteks dan ko-teks, (4) topik, dan (5) struktur kewacanaan.

(2) Kajian Wacana dengan Pendekatan Sosiolinguistik
            Kajian wacana dengan pendekatan sosiolinguistik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi sosiolingguistik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata sosiolingguistik.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan ini adalah aspek sosiolinguistik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) latar dan situasi penuturan wacana, (2) peserta tutur wacana, (3) tujuan penuturan wacana, (4) nada atau semangat penuturan wacana, (5) implikatur, (6) presuposisi, (7) prakondisi, (8) inferensi, (9) unsur lokalitas, dan (10) sarana (media) yang menyertai penuturan wacana, (11) komuniktas tutur, (12) gilir tutur, (13) variasi bahasa, (14) alih dan campur kode, dan (15) campur kata (lectal mix).

(3) Kajian Wacana dengan Pendekatan Pragmatik
            Kajian wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan ini adalah aspek pragmatik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) prinsip dan maksim kesantunan penuturan wacana, (2) prinsip maksim kerjasama penuturan wacana, (3) prinsip dan maksim kelakar dalam  wacana humor, (4) prinsip dan maksim persuasif dalam wacana pariwara, (5) prinsip dan maksim tutur dalam wacana peradilan,    (6) prinsip dan maksim tutur dalam wacana negosiasi,  (7) prinsip dan maksim tutur dalam wacana debat, (8) nilai kesantunan yang terdapat dalam wacana, dan sebagainya.

(4) Kajian Wacana dengan Pendekatan Tindak Tutur
            Kajian wacana dengan pendekatan tindak tutur bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi tindak tutur. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata tindak tutur.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan tindak tutur  adalah unsur  tindak tutur yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) lokusi, (2) ilokusi, (3) perlokusi, (4) tindak konstatif, (5) tindak direktif, (6) tindak komisif, (7) tindak fatis (aknowledgment),  (8) maksud tindak tutur, dan (9) fungsi tindak tutur.
                                                                                      
(5) Kajian Wacana dengan Pendekatan Kritis
            Tahun 1980-an merupakan masa pemantapan bagi kajian analisis wacana. Pada era ini banyak bermunculan teori wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983). Kajian wacana nonkritis ini lebih menekankan kajiannya pada aspek (a) struktur wacana, (b) keteraturan wacana, (c) konteks dan penuturnya, (d)  prinsip tutur, (e) tujuan,  dan (f) fungsi wacana.
            Kajian wacana dengan pendekatan kritis atau disebut analisis wacana kritis (AWK)  berkembang setelah era 1980-an. Tahun 1985 van Dijk membuka dan mengembangkan pokok persoalan (objek kajian wacana) ke arah yang lebih luas, seperti: perspektif gender, politik kekuasaan, emansipasi manusia dan masyarakat. Ide ini disambut baik oleh ahli lain dengan munculnya tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough (1998).
            Aman (2002) menekankan bahwa AWK mampu menguraikan wacana bukan dari sekedar aspek kebahasaan, tetapi juga mengupas praktik dan proses sosial yang tersembunyi di dalam wacana. Berbagai proses dan praktis sosial lain yang biasa dikaji oleh sosiologi, ilmu politik, antropologi, kajian gender, dan kajian media, juga mampu dikupas oleh AWK. Pemanfaatan AWK dalam linguistik akan mampu meningkatkan kedudukan ilmu bahasa (linguistik) sejajar dengan  ilmu-ilmu sosial lain, dan linguistik akan lebih berkembang luas.

1 komentar:

  1. Kalau boleh tahu, referensi yang Anda gunakan itu apa? Terutama yang menyebutkan bahwa Guy Cook itu termasuk tokoh wacana kritis? Terima kasih

    BalasHapus