Selasa, 20 Maret 2012

PRINSIP DASAR PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Undang-Undang NO. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa “pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau pelatihan bagi peranannya di masa datang”. Dalam Undang-Undang tahun 2003 tentang Pendidikan Nasional, pasal 1 ayat (1) dan (2), dikemukakan bahwa “(1) pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara; dan (2) pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan pancasila dan undang-undang tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman”.
Unesco (1979) mendefinisikan pendidikan adalah komunikasi terorganisasi dan berkelanjutan yang dirancang bangun untuk menumbuhkan belajar. Sejalan dengan itu Smith(1982) mengemukakan bahwa pendidikan adalah kegiatan sistemik untuk menumbuhkembangkan belajar. Berdasarkan penelitian tersebut maka pendidikan, selain bertujuan untuk terwujudnya perubahan perilaku peserta didik dalam ranah kognisi, afeksi, psikomotorik, dan aspirasi setelah mengikuti pembelajaran, melainkan pula untuk tumbuh kembangnya budaya belajar. Budaya belajar inilah yang hendaknya merupakan bagian dari peseta didik atau lulusan lembaga pendidik sehingga mereka mampu belajar untuk mengetahui (larning how to now), belajar untuk belajar (learning how to learn, to relearn, to unlearn), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do), belajar untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to live together), dan belajar untuk kemajuan kehidupan (learning how to be) (Sudjana, 2006).
Untuk bisa melaksanakan pembelajaran sehingga siswa mampu belajar untuk mengetahui (larning how to now), belajar untuk belajar (learning how to learn, to relearn, to unlearn), belajar untuk mengerjakan sesuatu (learning how to do), belajar untuk memecahkan masalah (learning how to solve problems), belajar untuk hidup bersama (learning how to live together), dan belajar untuk kemajuan kehidupan (learning how to be) maka dalam melaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia guru perlu memahami prinsip-prinsip dan landasan pembelajaran bahasa Indonesia yang akan dipaparkan berikut ini.
1. Prinsip-Prinsip Pengembangan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia dilaksanakan dengan mengacu pada wawasan pembelajaran yang dilandasi prinsip (l) humanisme, (2) progresivme, dan (3) rekonstruksionisme. Prinsip humanisme berisi wawasan sebagai berikut.
a. Manusia secara fitrah memiliki bekal yang sama dalam upaya memahami sesuatu. Implikasi wawasan ini terhadap kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) guru bukan merupakan satu-satunya sumber informasi, (b) siswa disikapi sebagai subyek belajar yang secara kreatif mampu menemukan pemahaman sendiri, (c) dalam proses belajar mengajar guru lebih banyak bertindak sebagai model, teman pendamping, pemotivasi, fasilitator, dan aktor yang juga bertindak sebagai pebelajar.
b. Perilaku manusia dilandasi motif dan minat tertentu. Implikasi dari wawasan tersebut dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) isi pembelajaran harus memiliki kegunaan bagi pebelajar secara aktual, (b) dalam kegiatan belajarnya siswa harus menyadari manfaat penguasaan isi pembelajaran bagi kehidupannya, (c) isi pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan, pengalaman, dan pengetahuan pebelajar.
c. Manusia selain memiliki kesamaan juga memiliki kekhasan. Implikasi wawasan tersebut dalam kegiatan pengajaran bahasa Indonesia adalah (a) layanan pembelajaran selain bersifat klasikal dan kelompok juga bersifat individual, (b) pebelajar selain ada yang dapat menguasai materi pembelajaran
secara cepat juga ada yang menguasai isi pembelajaran secara lambat, dan (c) pebelajar perlu disikapi sebagai subyek yang unik, baik menyangkut proses merasa, berpikir, dan karakteristik individual sebagai hasil bentukan lingkungan keluarga, teman bermain, maupun lingkungan kehidupan sosial masyarakatnya.
Lebih lanjut lagi sejumlah prinsip di atas dapat dihubungkan dengan prinsip progresivisme yang beranggapan bahwa:
(1) Penguasaan pengetahuan dan keterampilan tidak bersifat mekanistis tetapi memerlukan daya kreativitas. Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan melalui kreativitas ini berkembang secara berkesinambungan. Pemahaman kosa kata misalnya, akan membentuk keterampilan menyusun kalimat. Begitu juga kemampuan membaca dan menulis dibentuk oleh kemampuan memahami kosakata dan keterampilan menyusun kalimat. Pengetahuan dan keterampilan tersebut diperoleh secara utuh dan berkesinambungan apabila dalam proses pembelajarannya siswa secara kreatif melakukan pemaknaan kosakata, berlatih menyusun kalimat, melakukan kegiatan membaca, dan berlatih mengarang secara langsung. Selain itu, topik atau isi pembelajaran yang satu dengan yang lain harus memiliki hubungan dan secara potensial harus dapat dibentuk sebagai suatu keutuhan.
(2) Dalam proses belajarnya siswa seringkali dihadapkan pada masalah yang memerlukan pemecahan secara baru. Dalam memecahkan masalah tersebut siswa perlu menyaring dan menyusun ulang pengalaman dan pengetahuan yang dimilikinya secara coba-coba atau hipotesis. Dalam hal ini terjadi cara berpikir yang terkait dengan metakognisi. Sesuai dengan gambaran proses berpikir dalam pemecahan masalah , metakognisi adalah penghubungan suatu pengetahuan dengan pengalaman atau pengetahuan lain melalui proses berpikir untuk mehasilkan sesuatu (Marzano, 1992). Terdapatnya kesalahan dalam proses memecahkan
masalah maupun pada hasil yang dibuahkan sebagai bagian kegiatan belajar merupakan sesuatu yang wajar.
Sejalan dengan wawasan di atas, prinsip konstruksionisme menganggap bahwa proses belajar disikapi sebagai kreativitas dalam menata serta menghubungkan pengalaman dan pengetahuan hingga membentuk suatu keutuhan. Dalam tindak kreatif tersebut murid pada dasarnya merupakan subyek pemberi makna. Kesalahan sebagai bagian dari kegiatan belajar justru dapat membuahkan pengalaman dan pengetahuan baru. Sebab dalam proses pembelajaran guru sebaiknya tidak “menggurui” melainkan secara adaptip berusaha memahami jalan pikiran murid untuk kemudian menampilkan sejumlah kemungkinan. Fulwier (dalam Aminuddin, l994) berpendapat bahwa Like students, teacher as learner are unique. Dinyatakan demikian karena dalam mengendalikan, mengembangkan, sampai ke mengubah bentuk proses belajar mengajar guru bisa jadi sering dihadapkan pada masalah baru. Karena itu, guru juga perlu belajar, mengembangkan kreativitas sejalan dengan kekhasan subyek didik, peristiwa belajar, konteks pembelajaran, meupun terdapatnya berbagai bentuk perkembangan.
KBM juga dirancang dengan mengikuti prinsip-prinsip belajar mengajar dan prinsip motivasi dalam belajar. Belajar mengajar merupakan kegiatan aktif siswa dalam membangun makna atau pemahaman. Dengan demikian, guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan otoritasnya dalam membangun gagasan. Tanggung jawab belajar berada pada diri siswa tetapi guru bertanggunag jawab untuk menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi, dan tanggung jawab siswa untuk belajar sepanjang hayat.
2. Landasan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Di sekolah dasar, landasan pembelajaran bahasa Indonesia ditelusuri melalui landasan formal berupa kurikulum, landasan filosofis-ideal berupa wawasan teoritik-konseptual, dan landasan operasional berupa buku teks bahasa Indonesia.
a. Landasan Formal
Landasan formal dalam meningkatkan kemampuan baca-tulis di SD adalah kurikulum bahasa Indonesia. Tujuan pengajaran bahasa Indonesia di SD secara umum mengacu pada kemampuan memahami bahasa Indonesia dari segi bentuk, makna, dan fungsi serta menggunakannya secara tepat dan kreatif untuk bermacam-macam tujuan, keperluan, dan keadaan secara lisan ataupun tertulis (Resmini, 1998).
Berdasarkan praktik pembelajaran bahasa di kelas, Bull (1989) memilah rancangan kurikulum bahasa atas dasar proses dan isi. Orientasi isi didasarkan pada sesuatu yang diajarkan, materi, atau butir-butir pembelajaran. Sedangkan orientasi proses berkaitan dentgan deskripsi prosedural tentang bagaimanakah butir-butir pembelajaran tersebut disajikan. Dalam implementasinya, kedua orientasi ini memiliki tiga pola, yakti rancangan kurikulum yang berpola (1) orientasi kaya proses, tetapi terbatas isi, (2) orientasi proses terbatas, tetapi isi kaya/tinggi, dan (3) orientasi proses yang kaya/tinggi dengan isi yang kaya/tinggi pula.
Pola pertama dirancang dalam praktik pembelajaran bahasa yang mengacu pada proses, misalnya proses menulis. Dinyatakan demikian sebab dalam proses menulis, fokus pembelajaran ditekankan pada pada bagaimana siswa berproses menulis secara aktif dan interaktif sehingga menghasilkan sebuah tulisn. Proses yang ditempuh dengan baik akan menghasilkan produk tulisan yang baik pula. Dengan demikian, pembelajaran ditekankan pada proses atau cara memahami area isi pembelajaran secara intra disiplin maupun lintas didiplin.
Dalam pola yang kedua, pembelajaran bahasa dilaksanakan denganm bertolak dari membaca area isi pembelajaran. Dengan cara ini siswa memanfaatkan kegiatan belajar bahasa untuk sekaligus mempelajari mata pelajaran lain. Demikian juga dalam praktik pembelajaran bahasa lintas kurikulum, melalui tema tertentu pembelajaran kiat berbahasa dijadikan sebagai landas tumpu untuk mempelajari area isi dari mata pelajaran lain.
Praktik pembelajaran bahasa dengan pola ketiga mengacu pada pelaksanaan pembelajaran bahasa yang mengacu atau memanfaatkan sastra anak (literature based). Realisasi dari pola pembelajaran ini didasarkan pada pemahaman siswa berkaitan dengan sastra anak yang dijadikan landasa tumpu pembelajaran tersebut. Bull (1089) menegaskan bahwa rancangan kurikulum atas dasar literature based berpotensi untuk terlaksananya pembelajaran yang kaya proses dengan isi yang kaya pula. Atau sebaliknya proses terbatas dan isi terbatas pula.
Berdasarkan paparan di atas, kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia mestinya berorientasi pada proses dan isi secara proposional, yang dirancang untuk untuk pola pembelajaran yang kaya proses dan isi. Untuk itu, pperan guru sangatlah penting terutama dalam pemilihan metode pengajaran yang tepat dan beragam sesuai tujuan. Berdasarkan rancangan kurikulum tersebut maka pembelajaran bahasa Indonesia akan didasarkan pada pendekatan komunikatif dengan pola penataan bahan tematis, proses pembelajaran yang dilaksanakan secara integratif dengan mengaktifkan proses belajar siswa.
b. Landasan Teoritik-Konseptual
Landasan teoritik-konseptual merupakan sejumlah pendekatan yang melandasi pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Pendekatan yang dimaksud adalah pendekatan komunikatif yang dijiwai teori fungsionalisme, pendekatan tematis-integratif, dan pendekatan proses. Dikemukakan dalam GBPP Bahasa Indonesia SD bahwa pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi. Oleh karea itu, belajar bahasa Indonesia diarahkan untuk
meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi lisan maupun tulis dengan menggunakan baha yang baik dan benar.
Pembentukan kompetensi komunikasi harus didukung oleh empat kompetensi lain, yakni kompetensi gramatika, sosiolinguistik, kewacanaan, dan srategi komunikasi. Dalam upaya pencapaian kompetensi komunikatif, bahan pembelajaran ditata secara tematis dengan KBM yang bersifat integratif. Dengan bahan yang berancangan tematis, titik tolak pembelajaran adalah tema. Tema ini merupakan payung pemersatu pembelajaran dan bukanlah tujuan melainkan sarana penersatu kegiatam berbahasa (Depdikbud, 1994:10).
Sebagai unsur pengikat, tema dan topik diarahkan untuk membentuk keterampilan berbahasa secara terpadu. Keterpaduan itu menyangkut keterpaduan antara materi bahasa Indonesia dalam pengajaran bahasa Indonesia, serta keterpaduan antara pengajaran bahasa Indonesia dengan materimata pelajaran yang lain. Mengacu pada keterpaduan yang sama, satu tema dapat digunakan untuk mengembangkan dua keterampilan berbahasa atau lebih, sekaligus memadukan sejumlah aspek kebahasaan, misalnya struktur dan kosakata. Misalnya dalam pembelajaran proses menulis pemaduan keterampilan berbahasa benar-benar dapat memperoleh tempat proporsional. Hal ini didasrkan pada ciri pembelajaran proses menulis yang dinamis, interaktif, dan konstruktif sehingga memberikan peluang besar untuk pemaduan tersebut (Eanes, 1997; Tompkins, 1994; Tomkins 1991; Suhor, 1984)
c. Landasan Operasional
Dalam praktik pembelajara bahasa Indonesia peranan buku teks sebagai salah satu sumber pembelajan sangat penting. Diantara sumber pembelajaran lainnya buku teks terkesan lebih dominan. Di lapangan buku teks disikapi sebagai satu-satunya informasi yang bersifat instan. Padahal seharusnya diseleksi, dianalisis, dan di bandingkan dengan butor-butir
pembelajaran serta hasil jabaran pembelajaran yang ada dikurikulum sehingga ada keterkaitan dengan proses hasil belajar.
Dengan demikian, seharusnya guru dalam melaksanakan prakti pembelajarannya juga meninjau GPPP tidak hanya memanfaatkan buku teks saja tanpa menyesuaikannya dengan GPPP. Dari segi proses pembelajaran, butir-butir isi pembelajaran harus ditata secara utuh, runtut, dan berkesinambungan. Untuk itu misalnya butir-butir pembelajaran menulis yang terdapat dalam buku teks dipadukan dengan butir-butir pembelajaran yang terdapat dalam kurikulum. Pemaduan tersebut akan menghasilkan sekuensi tataan isi pembelajaran yang menyiratkan proses/ prosedur pembelajarannya.
2. Pendekatan dalam Pembelajaran Bahasa
Dalam istilah belajar mengajar, kita mengenal pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Ketiga istilah tersebut mempunyai makna yang berbeda walaupun dalam penerapannya ketiga-tiganya saling berkaitan. Ramelan (1982) mengutip pendapat Anthony yang mengatakan bahwa pendekatan mengacu pada seperangkat asumsi yang saling berkaitan dan berhubungan dengan sifat bahasa serta pengajaran bahasa. Pendekatan merupakan dasar teoritis untuk suatu metode. Asumsi tentang bahasa bermacam-macam, antara lain asumsi yang menganggap bahasa sebagai kebiasaan; ada pula yang menganggap bahasa sebagai suatu sistem komunikasi yang pada dasarnya dilisankan; dan ada lagi yang menganggap bahasa sebagai seperangkat kaidah. Asumsi-asumsi tersebut menimbulkan adanya pendekatan-pendekatan yang berbeda, yakni :
(1) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha membiasakan diri menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Penekanannya ada pada pembiasaan.
(2) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa belajar berbahasa berarti berusaha untuk memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan. Tekanan pembelajarannya terletak pada pemerolehan kemampuan komunikasi.
(3) Pendekatan yang mendasari pendapat bahwa dalam pembelajaran bahasa yang harus diutamakan ialah pemahaman akan kaidah-kaidah yang mendasari ujaran, tekanan, pembelajaran pada aspek kognitif bahasa, bukan pada kemampuan menggunakan bahasa (Zuchdi, 1997).
Pendekatan apapun yang dipilih guru dalam melaksanakan program KBM, pada dasarnya tuntutan untuk menampatkan siswa sebagai pusat perhatian dan perlakuan sangat utama. Peran guru dalam pembentukan pola KBM di kelas tidak hanya ditentukan oleh didaktik-metodik “apa yang akan dipelajari saja, melainkan pada “bagaimana menyediakan dan memperkaya pengalaman belajar anak”. Pengalaman belajar ini diperoleh melalui serangkaian kegiatan untuk mengeksplorasi secara aktif lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan buatan, serta berkonsultasi dengan nara sumber. Dalam merancang KBM bahasa Indonesia terdapat beberapa pendekatan yang perlu diperhatikan, antara lain sebagai berikut.
Pendekatan Whole Language
Pembelajaran bahasa mengacu pada pendekatan whole language sehingga dalam implementasinya digunakan pendekatan integratif. Syafi’ie (1996:16) mengemuakakan pendapatnya bahwa dalam pengertian yang luas, integratif dapat diartikan sebagai penyatuan berbagai aspek ke dalam satu keutuhan yang padu. Pelaksanaan pembelajaran bahasa Infonesia berdasarkan konsep integratif mengacu pada pengembangan dan penyajian materi pelajaran bahasa secara terpadu. Lingkungan proses belajar mengajar bahasa yang dilandasi keterpaduan mengacu pada pandangan tentang hakikat bahasa whole language.
Keterpaduan dalam pengajaran bahasa mencerminkan adanya pandangan whole language yaitu pandangan tentang kebenaran mengenai hakikat proses belajar dan bagaimana mendorong proses tersebut agar berlangsung secara optimal di kelas. Godman mengemukakan beberapa prinsip whole language dalam pengejaran bahasa yaitu (l) program pembinaan
kemampuan baca-tulis di sekolah harus dikembangkan berdasarkan kenyataan proses belajar yang sesungguhnya dan memanfaatkan motivasi yang bersifat intrinsik, (2) strategi membaca dan menulis dikembangkan dalam pemakaian bahasa yang relevan, fungsional, dan bermakna, (3) perkembangan kemampuan menguasai keterampilan membaca dan menulis mengikuti dan dimotivasi oleh perkembangan fungsi-fungsi membaca dan menulis. Robb juga mengemukakan prinsip pengajaran bahasa dengan pendekatan whole language yang berpijak pada (l) keterampilan berbahasa diajarkan secara terpadu, (2) belajar dilakukan dari keseluruhan menuju ke bagian-bagian, (3) materi ajar didasarkan pada teks (literature centered), dan (4) belajar dilakukan secara kolaboratif yang lebih menekankan pada proses (Knape, 1992:67).
Didasarkan pada pendekatan pengajaran bahasa yang berwawasan whole language maka pembelajaran bahasa Indonesia harus memiliki keterpaduan antara (l) pembelajaran komponen kebahasaaan, pemahaman, dan penggunaan, (2) isi pembelajaran dengan pengetahuan dan pengalaman siswa, dan (3) perolehan pengalaman belajar siswa dengan kenyataan penggunaan bahasa sesuai dengan aktivitas penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupannya. Dengan adanya pendekatan pengajaran bahasa yang diorientasikan pada wawasan whole language maka dalam setiap pelaksanaannya, aktivitas pembelajaran bahasa tidak dilakukan secara fragmentis melainkan utuh, padu sebagai suatu kesatuan.
Pendekatan Konstruktivisme
Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld, l989, Matthews, l994, dalam Suparno, l997). Pengetahuan merupakan ciptaan manusia yang direkonstruksikan dari pengalaman atau dunia sejauh yang dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan secara terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru (Piaget dalam Suparno, l997).
Pada dasarnya belajar merupakan (l) proses berpikir secara aktif, (2) proses berpikir sebagai upaya menghubungkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki (skemata) dengan informasi atau masalah baru secara kritis dan kreatif, (3) proses berpikir yang secara potensial menuju dan membentuk keutuhan berdasarkan “konstruksi” yang dilakukan, (4) proses pembuahan pemahaman yang akan melekat dan terkembangkan secara terus menerus apabila berlangsung lewat penghayatan dan internalisasi. Aminuddin (1994) mengemukakan contoh analogi bahwa sebagai pemaham dan penghayat pandangan konstruktivisme, ketika guru membaca butir pembelajaran dengan kompetensi dasar agar siswa mampu Membaca teks bacaan dan memahami isinya maka guru akan melakukan kegiatan sebagai berikut. Berusaha memahami hal apa saja yang berhubungan dengan membaca teks bacaan dan memahami isinya. Proses pemahamannya dipandu oleh hasil belajar dan indikator pencapaiaan hasil belajar yang ditafsirkan cocok digunakan sebagai landasan penjabaran butir pembelajaran. Berusaha membangkitkan pengalaman serta pengetahuan yang relevan dengan butir pembelajaran tersebut, mempelajari buku tentang membaca, bertanya kepada orang lain atau teman sejawat dan berdiskusi dengannya. Ketika menggambarkan perihal yang berhubungan dengan membaca teks bacaan dan memahami isinya, tergambar berbagai kemungkinan yang bisa dipilih. Dalam hal ini guru hanya memfokuskan perhatian pada jabaran yang (l) sesuai dengan tingkat pengalaman dan pengetahuan siswa baik yang diperoleh di dalam kelas maupun kehidupan sehari-harinya, (2) memiliki kesatuan hubungan dan menjanjikan terbuahkannya pemahaman secara utuh, dan (3) memiliki hubungan dengan aktivitas kehidupan siswa sehingga jabaran yang dipilih benar-benar terhayati dan membuahkan pengalaman dan pemahaman yang terkembangkan secara terus menerus. Menggambarkan bahan ajar yang mesti dipersiapkan untuk keperluan pembelajaran di kelas, bentuk KBM yang membuahkan pemahaman, penghayatan, pengalaman, internalisasi, dengan menyesuaikan alokasi
waktu bila dihubungkan dengan rentetan pertemuan sebelum dan sesudahnya.
Melihat dari apa yang dilakukan guru di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa ketika guru akan melakukan pembelajaran dia harus (l) memiliki pengalaman dan pengetahuan menyangkut butir pembelajaran yang akan dianalisis, (2) mampu menggambarkan pengalaman dan pengetahuannya dalam bentuk-bentuk situasi konkret sesuai dengan “dunia pengalaman, pengetahuan, dan kehidupan sehari-hari siswa”. (3) mampu memetakan berbagai lintasan gambaran sehingga menjalin hubungan yang utuh, (4) mampu memetakan hubungan antara jabaran butir kompetensi dasar dengan materi pokok yang dimanfaatkan di kelas, KBM, alokasi waktu, dan bentuk asesmen yang mungkin dikembangkan, serta (5) memprediksikan bentuk-bentuk penguasaan isi pembelajaran yang dibuahkan lewat proses belajar yang ditempuhnya. Sebagai contoh ketika siswa ditugaskan membaca paragraf dalam bacaan, yang dapat diperoleh bukan hanya pemahaman informasi menyangkut fakta, gagasan, pendapat dalam paragraf, tetapi juga tentang kalimat utama, kalimat penjelas, dan cara yang ditempuh penulisnya dalam mengembangkan paragraf.
Pada dasarnya salah satu sasaran pembelajaran adalah membangun gagasan saintifik siswa melalui kegiatan interaksi dengan lingkungan, peristiwa, dan informasi dari sekitar siswa. Pandangan konstruktivisme menganggap semua peserta didik mulai dari TK sampai perguruan tinggi memiliki gagasan/pengetahuan sendiri tentang lingkungan dan peristiwa/gejala alam di sekitarnya meskipun gagasan/pengetahuan ini naif atau kadang-kadang salah. Mereka senantiasa mempertahankan gagasan/pengetahuan naif ini secara kokoh sebagai suatu kebenaran. Hal ini berlangsung karena gagasan/pengetahuan yang dimiliki siswa terkait dengan gagasan/pengetahuan awal lain yang sudah terbangun dalam wujud skemata (struktur kognitif) dalam benak siswa. Para ahli pendidikan berpendapat bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang dikatahui siswa”. Guru
tidak dapat mendoktrinasi gagasan spesifik supaya siswa mau mengganti dan memodifikasi gagasannya yang nonsaintifik menjadi pengatahuan/gagasan saintifik. Dengan demikian, yang dapat mengubah gagasan siswa adalah siswa itu sendiri. Guru hanya berperan sebagai fasilitator penyedia “kondisi” supaya proses belajar untuk memperoleh konsep yang benar dapat berlangsung dengan baik (Puskur, 2002).
Berikut beberapa kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme antara lain sebagai berikut. Diskusi atau curah pendapat yang menyediakan kesempatan agar semua siswa mampu mengemukakan pendapat dan gagasannya. Demontrasi dan peragaan praktik keterampilan berbahasa Kegiatan praktis lain yang memberi peluang kepada siswa untuk mempertanyakan, memodifikasi, dan mempertajam gagasannya.
Hal tersebut sejalan dengan wawasan Whole Language, proses pembelajaran bahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, memahami kebahasaan dan berapresiasi sastra) disikapi sebagai constructive process yang berlangsung secara dinamis (Godman, 1986). Proses pembelajaran yang dilakukan dinyatakan memuat gambaran wawasan whole language bila (l) hasil belajar tentang bunyi, kosakata, struktur, sastra, mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis memiliki kesinambungan dan keterpaduan, (2) siswa mempelajari bahasa dalam konteks pemakaian baik secara lisan maupun tulis, (3) siswa mempelajari bahasa sesuai dengan keragaman fungsi dan pemakaian, (4) proses kreatif anak dalam berbahasa lebih mendapatkan perhatian dibandingkan pemahaman ihwal kebahasaan, dan (5) guru mengadakan evaluasi proses dan hasil secara integratif dengan menggunakan berbagai data sebagai sumber dan bahan penilaian.
Pendekatan Komunikatif
Pendekatan komunikatif dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuan berkomunikasi (yang selanjutnya disebut kompetensi
komunikasi), yaitu kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dalam konteks yang seutuhnya. Kegiatan utama dalam kegiatan belajar-mengajar bahasa yang menggunakan pendekatan komunikatif berupa latihan-latihan yang langsung dapat mengembangkan kompetensi komunikasi yangdimiliki pembelajar; tidak hanya menguasai bentuk-bentuk bahasa, tetapi sekaligus menguasai bentuk, makna, serta pemakaiannya.
Dalam pendekatan komunikatif pembelajar berperan sebagai negosiator antara dirinya dengan temannya, atau dengan objek yang dipelajari. Pembelajar harus aktif berinisiatif melakukan kegiatan komunikasi. Untuk keperluan ini seringkali disediakan teks, aturan atau kaidah gramatika tidak dibahas secara eksplisit, pengaturan tempat duduk seringkali bersifat inkonvensional, pembelajar diharapkan lebih banyak berinteraksi dengan pembelajar lain, dan kesalahan yang tidak menganggu komunikasi ditolerir (Richard dan Rodgers, 1987).
Pendekatan komunikatif mengikuti pandangan bahwa bahasa pada hakikatnya adalah alat komunikasi atau alat interaksi sosial. Dalam rambu-rambu pembelajaran, antara lain dikemukakan: (a) belajar BI pada hakikatnya adalah belajar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis, (b) pembelajaran kebahasaan ditujukan untuk meningkatkan pemahaman dan penggunaan BI, dan (c) BI sebagai alat komunikasi digunakan untuk bermacam-macam fungsi, sesuai dengan apa yang ingin dikomunikasikan oleh penutur. Dalam penggunaan BI, faktor-faktor penentu komunikasi (misalnya: partisipan tutur, topik tutur, tujuan tutur, dan situasi tutur) harus selalu dipertimbangkan.
Pendekatan Tematis-Integratif
Yang dimaksud dengan pendekatan tematis-integratif adalah pembelajaran bahasa harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang sewajarnya. Pengorganisasian materi tidak diwujudkan dalam bentuk pokok bahasan secara terpisah, tetapi diikat dengan menggunakan tema-tema tertentu dengan menganut asas kesederhanaan, kebermaknaan dalam komunikasi,
kewajaran konteks, keluwesan (disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan tempat), keterpaduan, dan kesinambungan berbagai segi dan keterampilan berbahasa.
Unsur-unsur bahasa dipelajari dalam konteks wacana, dan penggunaan bahasa selalu berada dalam integrasi berbagai keterampilan berbahasa. Pendekatan temaris-integratif ini dituangkan dalam rambu-rambu pembelajaran, yang antara lain, berupa : (a) tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan kosa kata siswa serta sebagai pemersatu kegiatan belajar BI siswa sehingga pembelajaran BI berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, (b) pembelajaran BI mencakup aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pembinaan keempat aspek ini harus dilakukan secara terintegrasi.
Pembelajaran bahasa yang didasarkan pada pendekatan tematis-integratif harus dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang sewajarnya. Pengorganisasian materi tidak diwujudkan dalam bentuk meteri pokok bahasan secara terpisah, tetapi diikat dengan menggunakan tema-tema tertentu dengan menganut asas kesederhanaan, kebermaknaan dalam komunikasi, kewajaran konteks, keluwesan (disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan tempat), keterpaduan, dan kesinambungan berbagai segi keterampilan berbahasa.Unsur-unsur bahasa dipelajari dalam konteks wacana, dan penggunaan bahasa selalu berada dalam integrasi berbagai keterampilan berbahasa. Pendekatan ini berimplikasi antara lain (l) tema digunakan untuk pengembangan dan perluasan kosa kata siswa serta sebagai pemersatu kegiatan belajar bahasa Indonesia (BI) siswa sehingga pembelajaran BI berlangsung dalam suasana kebahasaan yang wajar, (2) pembelajaran BI mencakup empat aspek keterampilan berbahasa harus dilakukan secara terintegrasi.
Lewat kegiatan pengajaran membaca, pemahaman tentang ejaan, tanda baca, kosakata, kalimat, makna, dan penanda hubungan kewacanaan terolah secara serempak. Selain itu, guru akan merasakan bahwa pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh setelah membaca ternyata juga berperanan dalam
mengembangkan kemampuan menulis, bermanfaat ketika melakukan kegiatan wicara, baik yang formal maupun informal. Selain itu, pengalaman dan pengetahuan tersebut juga membantu mengembangkan kemampuan menyimak. Berdasarkan pengalaman demikian, maka guru dapat menarik kesimpulan bahwa dalam belajar bahasa, jabaran butir pembelajaran yang satu dengan yang lain tidak dapat disusun dalam tata urutan yang terpisah-pisah. Pembelajaran yang berkaitan dengan materi kebahasaan, kesusastraan, menyimak, membaca, wicara, menulis, harus dijalin secara padu.
Selain bentuk keterpaduan yang dirancang dalam lingkup satu bidang studi (intra bidang studi), keterpaduan pembelajaran dapat dilakukan dalam bentuk lintas bidang studi (antarbidang studi). Ditinjau dari cara memadukan konsep, keterampilan, topik, dan unit tematisnya maka guru bisa memilih salah satu dari sepuluh cara merencanakan pembelajaran terpadu. Kesepuluh cara itu adalah pemaduan dengan bentuk (l) fragmented, (2) connected, (3) nested, (4) sequented, (5) shared, (6) webbed, (7) threated, (8) integrated, (9) immersed, dan (l0) networked (Fogarty, l99l).
Pendekatan Keterampilan Proses
Pendekatan keterampilan proses diartikan sebagai pendekatan belajar-mengajar yang mengarah pada pengembangan kemampuan mental, fisik, dan sosial sebagai penggerak kemampuan yang lebih tinggi dalam individu siswa. Cara pandang ini diterjemahkan dalam kegiatan belajar-mengajar yang sekaligus memperhatikan pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan. Ketiga ranah ini menyatu dalam diri siswa dalam bentuk kreativitas. Tujuan pokok dari pemakaian keterampilan proses adalah mengembangkan kreativitas siswa dalam belajar, sehingga siswa dapat secara aktif mengolah dan mengembangkan hasil perolehan/belajarnya (Dikbud, 1985).
Konsep pendekatan keterampilan prose tersebut selanjutnya lebih dikenal dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). CBSA bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa secara aktif untuk
mengembangkan kemampuan pribadinya dalam hal : (1) mempelajari konsep, (2) mempelajari, mengalami dan melakukan sendiri cara mendapatkan pengetahuan, (3) merasakan dan mengembangkan sendiri rasa ingin tahu, jujur, tekun, disiplin, kreatif terhadap tugas yang diberikan, (4) menemukan sifat dan kemampuan diri sendiri serta kelompoknya, (5) memikirkan, mencobakan sendiri dan mengembangkan konsep tertentu. (6) menemukan dan mempelajari gejala/kejadian yang dapat mengembangkan gagasan baru, dan (7) menunjukkan kemampuan mengkomunikasikan cara berpikir yang menghasilkan penemuan baru dan penghayatan nilai-nilai melalui gambar atau penampilan diri (Dikbud, 1985). Selama kurang lebih 25 tahun konsep CBSA sudah diperkenalkan dalam dunia pendidikan kita. Namun demikian, pengembangbiakan CBSA dalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar masih jauh dari harapan. Pengembangbiakan CBSA yang seharusnya memberikan harapan yang menggembirakan justru diikuti oleh pencemaran konseptual. Pemogramannya seringkali dikaitkan dengan kebutuhan fasilitas dalam bentuk alat peraga dan bangku. Penerapannya dalam pengelolaan kegiatan belajar-mengajar sering ditandai oleh penampilan ciri-ciri superfisial, seperti kerja kelompok yang semu serta kegaduhan yang disangka sebagai pencerminan keaktifan belajar (Joni, 1985).

Kamis, 22 Desember 2011

PENGERTIAN DAN ASPEK PRAGMATIK SERTA HAKIKAT BAHASA

A.   Pengertian Pragmatik

Definisi pragmatik dikemukakan oleh beberapa ahli dengan redaksi yang berbeda. Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu penutur.
            Menurut Leech (1993:8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar  (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat.
            Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik , yaitu:
(1)  Bidang yang mengkaji makna penutur;
(2)  Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
(3)  Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
(4)  Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi participant yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Sedangkan Levinson (1987:1) mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan anatara lambang dengan penafsirannya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahawa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur.

B.   Aspek-Aspek Pragmatik

Pragmatik adalah suatu kajian yang makna dan hubungannya dengan situasi ujar. adapun aspek-aspek dalam situasi ujar, yaitu:
1.    Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa).
Orang yang menyapa (penutur) dan orang (petutur). Jadi, penggunaan penutur dan petutur membatasi pragmatic pada bahasa lisan saja.

2.    Konteks sebuah tuturan
Berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur yang membantu petutur menafsir makna tuturan.

3.    Tujuan sebuah tuturan
Berkaitan dengan maksud penutur mengucapkan sesuatu.

4.    Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegaiatn tindak ujar
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak / performansi-performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu.

5.    Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tindak ilokusi / ilokusi untuk mengacu pada tindakan-tindakan tuturan seperti yang dinyatakan dalam dan memakai istilah tuturan untuk mengacu pada tindakan tuturan seperti yang telah diterangkan dalam tindak ujar. Dengan memakai istilah tuturan untuk mengacu produk linguistic tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam komunikasi yang berorientasi tujuan, meneliti sebuah tuturan merupakan usaha merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia meronstruksi tindakan apa yang menjadi tujan penutur ketika ia memproduksi tuturannya.

C.   Tingkat Bahasa (Tata Bahasa)
Dalam pragmatik terdapat istilah tata bahasa komunikatif yang terdiri dari:
1.    Tata bahasa komunikatif dan daya pragmatik
2.    Metabahasa pragmatik
3.    Aspek penyangkalan dan pertanyaan dalam bahasa Inggris
4.    Implikatur-implikatur sopan-santun

Rabu, 21 Desember 2011

Kejujuran Rahmad Darmawan

Seusai mengundurkan diri sebagai pelatih Tim Nasional Sepak Bola Indonesia Usia di Bawah 23 Tahun (U-23), Rahmad Darmawan mendapat banyak dukungan. Respons yang tak diduganya itu muncul karena pelatih yang mengantarkan Indonesia meraih medali perak SEA Games 2011 tersebut mengekspresikan kejujurannya.

"Ketika memutuskan keluar dari timnas, saya tidak berpikir apa yang saya lakukan didukung atau tidak. Saya hanya jujur mengatakan apa yang ada di dalam hati," kata Rahmad, ketika ditemui di rumahnya di kawasan Karawaci, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu.

Hari itu, sejak pagi Rahmad sibuk membagi waktunya untuk menerima media yang belum juga berhenti membahas sikapnya. Pada 13 Desember lalu, pelatih yang akrab disapa RD ini memberikan surat pengunduran diri sebagai pelatih Timnas U-23 kepada PSSI. Selain merasa bertanggung jawab karena kegagalan Indonesia meraih medali emas, keputusan tersebut juga didasari kekecewaannya kepada PSSI yang melarang atlet dari luar kompetisi PSSI membela tim nasional.

Memilih berhenti sebagai pelatih timnas bukan karena Rahmad menyerah. Dia justru menginginkan adanya pemikiran yang cerdas dari para pengurus sepak bola di negeri ini demi menghasilkan pemain terbaik untuk membela timnas.

Dikotomi antara kompetisi Liga Prima Indonesia dan Liga Super Indonesia menunjukkan, pengurus sepak bola di negeri ini belum bisa menggelar kompetisi yang berkualitas. Hal inilah yang menurut Rahmad menjadi salah satu dari empat faktor penyebab Indonesia kesulitan berprestasi di tingkat internasional, termasuk di level terendah, yaitu Asia Tenggara.

Tiga hal lain yang juga diabaikan adalah pengembangan pemain muda, infrastruktur, dan penyiapan tenaga pelatih. Padahal, keempat faktor yang saling berkaitan ini menjadi dasar terbentuknya kekuatan timnas.

"Dengan kondisi seperti ini, jangankan seorang RD, Jose Mourinho—Pelatih Real Madrid, Spanyol—pun akan sulit untuk membawa Indonesia ke pra-Piala Dunia karena tidak tersedianya semua elemen untuk membangun sebuah tim," komentar Rahmad.

Meski selalu kisruh, pelatih yang berpangkat kapten marinir ini masih memiliki harapan kondisi sepak bola Indonesia akan membaik. Langkah awalnya adanya pembenahan di tubuh PSSI. Setelah itu, barulah menata empat faktor yang dikatakan Rahmad.

Untuk masa depannya sendiri, Rahmad telah menetapkan hati akan tetap berada di jalur teknis. Rahmad memandang dirinya akan tetap menjadi pelatih atau pengurus PSSI yang bertanggung jawab atas hal teknis di lapangan. Ayah dari dua anak ini juga bercita-cita membangun akademi sepak bola.

Filosofi

Karier Rahmad di dunia sepak bola dimulai dengan menjadi pemain di beberapa klub, di antaranya Persija Jakarta dan Persikota Tangerang. Rahmad juga pernah membela Timnas Indonesia pada 1986-1994.

Awal kariernya sebagai pelatih dimulai di Kota Tangerang, tepatnya bersama Persikota. Rahmad kemudian memperluas pengalaman melatih dengan memilih keluar dari Tangerang dan Jakarta, kota tempatnya meniti karier.

Sekembalinya mengikuti kursus kepelatihan di Jerman, dia memilih berlabuh di Persipura Jayapura dan mengantarkan klub itu menjadi yang terbaik di Liga Indonesia 2005.

Tangan dinginnya juga mengantarkan Sriwijaya FC meraih gelar yang sama, dua tahun kemudian. Tak hanya itu, klub yang bermarkas di Palembang, Sumatera Selatan, tersebut juga menjuarai Piala Indonesia tiga kali berturut-turut, 2007-2009.

Di samping terkenal sebagai pelatih lokal tersukses, Rahmad juga dikenal sebagai pelatih yang memiliki atlet yang loyal. Ketika memutuskan pindah dari Persikota ke Persipura, misalnya, beberapa pemain mengikuti langkah Rahmad. Begitu pula ketika pelatih yang hobi bernyanyi dan mengoleksi topi ini hengkang dari Sriwijaya ke Persija. Sebanyak 19 pemain juga memilih mengikuti langkah Rahmad meski akhirnya hanya sembilan orang yang dikontrak Persija.

"Saya sendiri kaget karena tidak mau dikatakan menggembosi pemain. Saya lalu memberikan pemahaman bahwa mereka tak boleh mengambil keputusan hanya karena ingin ikut saya. Mereka harus memikirkan juga kepentingan sendiri dan keluarga," ungkap Rahmad.

Rasa hormat yang akhirnya memunculkan sikap loyal pemain terjadi karena filosofi melatih yang selalu dijalankan pria kelahiran Lampung ini. Dia selalu berprinsip, pelatih tak akan berarti apa-apa jika tidak ada pemain. Prinsip ini kemudian ditularkan kepada pemain bahwa mereka tak berarti apa pun tanpa pelatih dan sesama rekan pemain.

Berdasarkan nilai-nilai inilah Rahmad tak menoleransi atlet yang merasa dirinya pemain bintang. Dia tak segan memberikan sanksi kepada mereka yang bersikap tak profesional karena merasa dirinya hebat. Hal ini beberapa kali dibuktikan dengan mencoret pemain bintang dari tim atau tidak menurunkannya dalam pertandingan, baik di klub maupun timnas.

Rahmad juga selalu berprinsip menggali potensi dan mengesampingkan sejenak nilai negatif seorang pemain. "Ketika ada pemain dengan teknis bagus, tetapi memiliki mental jelek, saya akan memilihnya untuk masuk tim. Di perjalanan, ketika dia menampakkan sifat negatif, saya rangkul untuk diberi pengertian. Ketika dia mengulang hal yang sama, saya beri sanksi di depan semua anggota tim," tutur Rahmad, memberi contoh.

Dengan prinsip tersebut, Rahmad berhasil mendekatkan diri kepada pemain dari sejumlah daerah dengan berbagai karakternya. Apalagi perbedaan karakter kerap muncul di lapangan meski sepak bola sebenarnya memiliki bahasa universal.

Ketika melatih di Jawa, kata Rahmad lagi, dia memiliki tantangan agar pemain menjalankan program latihan sepenuh hati. Sebaliknya, di Papua, tantangannya adalah membuat pemain mau datang berlatih.

"Ketika sudah datang, setiap pemain Papua akan mengeluarkan kemampuan mereka 100 persen. Motivasi mereka tidak perlu diragukan. Di Papua, setiap orang berkompetisi menjadi pahlawan olahraga karena olahragalah yang mengangkat nama baik mereka," ujarnya.

Secara tersirat, Rahmad ingin menyampaikan bahwa pengurus olahraga haruslah memahami karakter masyarakat tiap-tiap daerah. "Jadi, hati-hati mengurus sepak bola kalau tidak paham karakter masyarakatnya," kata Rahmad. (kompas.com)

Sabtu, 17 Desember 2011

Sepak Bolaku Sayang, Sepak Bolaku Malang

Miris melihat kondisi sepak bola Indonesia yang semakin hari semakin tidak menentu nasibnya. Terpilihnya Pak Djohar Arifin Husein sebagai ketua umum PSSI yang baru menggantikan Pak  Nurdin Halid ternyata tidak membuat sepak bola Indonesia dalam kondisi yang lebih baik. Malah kisruh pun menjadi-jadi.  Padahal harapan besar pernah dialamatkan ke pundak pengurus PSSI yang baru yakni menjadikan sepak bola Indonesia kearah  yang lebih baik dan terbebas dari kekisruhan. Tapi harapan itu kini tinggal angan semata. Sepak bola Indonesia malah jatuh ke dalam  kekisruhan lagi.
Dimulai dari adanya dualisme liga. Lagi-lagi ada dua liga di Indonesia. Kalau dulu, LPI (Liga Premier Indonesia) dianggap illegal dan ISL (Indonesian Super League) yang resmi. Maka kini, terbalik  seratus delapan puluh derajat. ISL yang semula resmi pun dianggap illegal. Sementara LPI yang berganti nama menjadi IPL  (Indonesian Premier League) malah dianggap kompetisi resmi dan sudah didaftarkan ke FIFA serta AFC.  Sekali lagi tampaknya, PSSI tidak mau belajar dari pengalaman
sebelumnya. Kalau dulu pernah terbentuk dua liga, mengapa kini  harus ada lagi? Seharusnya kan tidak boleh ada lagi yang namanya dua liga. Kalau sampai terjadi lagi, ini jelas menjadi pertanyaan  besar, ada apa di tubuh PSSI? Barangkali jawabannya adalah politik.Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau politik mempunyai peran  dominan di tubuh PSSI. Bukan lagi sekedar “kendaraan” tapi mungkin sudah berkembang menjadi sebuah “industri” politik.  Tujuannya apalagi kalau bukan Pemilu 2014 nanti. Tentu saja, ini sangat disayangkan. Mengingat PSSI adalah organisasi sepak bola  seluruh Indonesia, dimana sepak bola menjadi olahraga paling diminati dan digemari di Indonesia. PSSI bukanlah kendaraan politik
yang bisa ditumpangi untuk tujuan tertentu. Sangat disayangkan apabila organisasi sebesar PSSI harus menjadi  kendaraan politik. Ini jelas tidak bagus bagi bagi kemajuan sepak bola di Indonesia. Karena efeknya akan timbul kekacauan dan saling
gontok-gontokan yang pada akhirnya membuat sepak bola  semakin terpuruk. Seandainya terjadi seperti itu, semuanya hanya bisa cuci tangan (lepas tanggung jawab) dan saling menyalahkan.
Oh, sepak bolaku sayang, sepak bolaku malang. Mengapa kondisimu seperti ini? Tidak ada yang menginginkannya. Semua
pecinta sepak bola di tanah air ingin melihatmu berprestasi tapi sayang belum kesampaian. Yang ada malah kisruh berlanjut pada kisruh, seperti tidak ada ujung pangkalnya. Tidak adakah yang mau mengalah demi kemajuan sepak bola Indonesia?
Tidak adakah keinginan memandang wajah-wajah gembira suporter dan bukan lagi wajah kesedihan? Tidak adakah keinginan menorehkan tinta emas sejarah baru? Tidak adakah keinginan untuk bersatu padu membuka lembaran baru dan meninggalkan dendam lama? Tidak adakah keinginan melihat harapan di mata seorang  anak kecil yang ingin menjadi pemain sepak bola terkenal seperti Messi atau Christiano Ronaldo?
Ah, tidak perlu pusing memikirkan jawabannya. Cukup kita renungkan saja. Biarkan para pengurus PSSI yang menjawabnya. Kalau memang masih mempunyai hati, telinga dan mata yang berfungsi sempurna maka tidak akan sulit untuk mengatakan “Iya, ada”. Dan bukan hanya sekedar mengatakan itu lalu tidak berbuat apa-apa, harus ada langkah nyata untuk mewujudkannya. Kita tunggu saja.
Salam olahraga.

Jumat, 14 Oktober 2011

Pendekatan Wacana


Bab 2
Sejarah dan Faham dalam Kajian Wacana
  
2.1 Sejarah Singkat Analisis Wacana

Dalam tradisi Hindu pengakjian terhadap teks telah lama ada, utamanya teks Weda, yang sampai sekarang berkembang sebagai analisis wacana dalam konteks keagamaan (Samsuri, 1988:1). Di Eropa tepatnya Inggris, tahun 1935, John Rupert Firth pernah menganjurkan agar para linguis menelaah percakapan. Akan tetapi Firth sendiri banyak berfokus pada fonologi, dan anjurannya tidak diperhatikan orang.

Istilah analisis wacana  pertama kali diperkenalkan oleh Harris (1952) dengan mengkaji kaidah bahasa dan menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat dalam suatu teks dihubungkan oleh semacam tatabahasa yang diperluas (Cook, 1989:13), dan saat itu Harris banyak ditentang oleh para linguis Amerika yang sepaham dengan Franz Boas, Edward Sapir, dan Bloofield.  Menurut kelompok linguis tersebut, Harris melawan arus, dan kajian bahasa sepatutnya berfokus pada bentuk dan substansi bahasa itu sendiri, bukan aspek lain seperti yang dikaji Harris.

Tahun 1957,  T.F. Mitchell mengikuti saran Firth dengan meneliti proses jual-beli di suatu komunitas di Cyrenaica. Dalam analisis itu Mitchell dengan tegas memperhatikan aspek konteks sosial, sedangkan Harris justru masih ragu-ragu.

Di Eropa (terutama Inggris dan Jerman), tahun 1961 muncul tatabahasa sistemik yang banyak dipelopori oleh Halliday. Dalam kajiannya, banyak dilakukan analisis pengaturan tematik terhadap kalimat, hubungan antarakalimat, dan wacana. Ancangan ini sebenarnya telah lama disarankan oleh linguis Eropa, seperti Bronislaw Malinowski, Vladimir Propp, Mathesius, Karl Buhler, Louis Hjelmslev, dan Firth. Selanjutnya, di Perancis banyak berkembang analisis wacana dengan pendekatan semiotik, dengan tokoh-tokoh seperti Todorov, Barthes, Greimas, dan Eco.
Tahun 1964 di Amerika, Dell Hymes mengembangkan ancangan sosiolinguistik dalam pengkajian wicara, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang nantinya akan menjadi kajian wacana yang luas dan berkembang. Setelah itu, analisis wacana di Amerika diteruskan oleh ahli linguistik tagmemik, seperti Knneth Pike (1967) dan konsepsi yang dikembangkan lebih luas daripada Harris. Pada saat itu Pike menganjurkan bahwa penelitian bahasa yang tidak mengenal kamus dan tidak ada informan bilinggual,  dalam meneliti harus memperhatikan segala nuansa makna bahasa  dalam penggunaan, yakni konteks sosialnya.
            Awal tahun 1970-an banyak telaah filsafat mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filsof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam suatu konteks sosial, suatu kalimat tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara si penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5).
            Dalam kajian antropologi juga berkembang etnografi penuturan (etnografi komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya; seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi muncul kajian sosiologi mikro yang mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang dikenal etnometodologi. Kajiannya juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff. Tradisi analisis wacana benar-benar berkembang setelah tahun 1970-an. Teori-teori yang dirujuk sebenarnya berasal dari konsepsi lama (klasik) yang telah ada sejak 2.000 tahun yang lampau, serta teori-teori strukturalis bidang linguistik, poetik, antropologi dan psikologi pada akhir tahun 1960-an, yang pada umumnya diilhami pikiran para formalis Rusia dan strukturalis Ceko (van Dijk, 1985:1-2).
            Tahun 1980-an merupakan masa pemantapan bagi kajian analisis wacana. Pada era ini banyak bermunculan teori wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983), dan van Dijk (1985). Pokok persoalan atau fokus kajian pada era ini juga telah meluas, seperti tentang perbedaan gender, politik, emansipasi manusia dan masyarakat, dalam kaitannya dengan wacana. Demikian juga tahun 1990-an, misalnya munculnya tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough (1998).  Tahun 2000-an kajian wacana  berkembang lebih kaya, misalnya munculnya kajian  pengaruh gaya kognitif terhadap produksi wacana (Semino dan Culpeper, 2002).

 

2.2 Faham  dalam Kajian Wacana

1) Faham dalam Analisis Wacana
            Analisis wacana adalah sutau pengkajian terhadap unsur-unsur yang membuat suatu wacana koheren (Cook, 1994:6). Fokus kajian analisis wacana, menurut Crystal (1985) adalah struktur, yang secara alamiah ada pada bahasa lisan, misalnya: percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan tertentu. Pengertian analisis wacana di atas, masih dalam kategori pengertian dasar, karena pengertian tersebut terus berkembang. Ada tiga kelompok analisis wacana, yaitu aliran (a) positivisme-empiris, (b) konstruktivisme, dan (c)  pandangan kritis.
            Menurut faham positivisme-empiris, pengkajian analisis wanaca difokuskan pada keteraturannya, yaitu kegramatikalan kalimat dan kepaduan wacana. Karena menurut faham ini bahasa (wacana) adalah jembatan penghubung antara manusia dengan objek dunia luar, sehingga bahasa (wacana) perlu tertata dengan baik. Analisis wacana tradisi positivistik ini mempelajari aturan-turan yang harus dipenuhi oleh wacana agar suatu wacana baik. Dalam pandangan ini, paradigma subjek—objek komunikasi dipisahkan.  Analisis wacana model ini masih banyak dipengaruhi oleh pola pikir aliran transaksional, dalam memandang bahasa.
            Faham konstruktivisme dalam mengkaji wacana, berbeda dengan faham positisme-empirik. Dalam menelaah wacana, subjek—objek komunikasi tidak dapat dipisahkan. Pola pikir ini banyak dipengaruhi pemikiran fenomenologi. Dalam khasanah ilmu bahasa kelompok ini dikenal aliran interaksional (Wahab, 1998:69). Faham ini melihat subjek komunikasi dan hubungan sosialnya  sebagai aspek sentral. Subjek komunikasi dipandang sebagai pelaku yang mampu mengontrol wacana dengan  maksud-maksud tertentu. Setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna, pengungkapan diri, dan pembentukan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana model ini dimaksudkan sebagai analisis untuk membongkar maksud dan makna tertentu yang tersembunyi.
Faham kritis (pandangan kritis) dalam menganalisis wacana mempertimbangankan faktor kekuasaan, karena faktor ini berperan dalam membentuk jenis subjek (pelaku) dan perilaku yang mengikutinya.  Dalam proses produksi dan reproduksi wacana, subjek sangat berperan. Oleh karena itu, wacana yang dihasilkan perlu disikapi dengan kritis (dikritisi). Analisis wacana model ini berfokus pada kekuatan subjek dalam memproduksi wacana. Subjek dalam analisis faham kritis dianggab sebagai individu yang tidak netral, sehingga bahasanya pun juga tidak netral. Tujuan analisis wacana jenis ini adalah melihat secara kritis tentang: peran subjek tertentu, tema, perspektif yang dipakai, dan tindakan tertentu yang sedang dilakukan terhadap masyarakat. Karena perspektifnya yang selalu kritis, maka analisis wacana jenis ketiga ini disebut analisis wacana kritis.
Analisis wacana dalam mengkaji bahasa mempunyai sikap yang berbeda dengan linguistik kalimat. Data bahasa dalam analisis wacana berciri (a) bahwa bagian-bagian bahasa itu membentuk satu kesatuan (saling terkait), (b) mengutamakan pencapaian makna, sehingga kebakuan tatabahasa dinomorduakan, (c) bahasa hadir  dalam konteks tertentu, dan (d) data berasal dari hasil observasi (tidak dibuat-buat). Sebaliknya, data bahasa dalam linguistik kalimat, mempunyai ciri (a) kalimat-kalimat lepas, (b) tersusun berdasarkan tatabahasa yang benar, (c) tanpa konteks, dan (d) hasil pemikiran yang cenderung artifisial (Cook, 1994:12).

2) Pendekatan dalam Kajian Wacana
            Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya. Untuk memahami secara mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang. Ada lima macam pendekatan dalam mengkaji wacana, yakni pendekatan (a) pendekatan struktural, (b) pendekatan sosiolinguistik, (c) pendekatan pragmatik, (d) pendekatan tindak tutur, dan (e) pendekatan kritis atau dikenal dengan analisis wacana kritis (AWK).
            Pendekatan struktural dalam kajian wacana merupakan kelanjutan dari pola pikir strukturalime dalam kajian linguistik yang telah lama berkembang. Pendekatan struktural menganut faham positivisme-empirik. Pendekatan sosiolinguistik, pragmatik, dan tindak tutur dalam kajian wacana dipopulerkan ulang oleh Schiffrin (1994). Ketiga pendekatan ini menganut faham konstruktif. Kajian wacana dengan pendekatan kritis dipelopori oleh  van Dijck (1998).  Semino dan Culpeper (2002) menambahkan bahwa analisis wacana juga dapat mengkaji gaya kognitif penuturan wacana. Kajian ini menggunakan  teori psikologi atau psikolinguistik. Ini sebuah perspektif yang baru lagi dalam kajian wacana.
            Beberapa pendekatan dalam kajian wacana dapat dipakai secara bersamaan untuk mengkaji wacana sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Kajian interdisipliner yang bersifat majemuk ini juga dikenal dengan faham pascamodern (postmodernism). Faham pascamodern ini banyak diminati ahli karena hasil kajiannya relatif luas dan tidak terkungkung oleh satu disiplin kajian saja. 

(1) Kajian Wacana dengan Pendekatan Struktural
            Kajian wacana dengan pendekatan struktural berasumsi bahwa sebuah wacana adalah suatu struktur yang memiliki berbagai komponen yang saling bekerja sama. Tujuan utama kajian wacana dengan pendekatan struktural adalah menggambarkan substansi suatu wacana sebagai sebuah bangunan.  Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap komponen pembangun wacana dan hubungan antarkomponen (relasi “syn function”) pembangun wacana. 
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan struktural adalah unsur-unsur internal yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) kohesi wacana, (2) koherensi wacana,  (3) konteks dan ko-teks, (4) topik, dan (5) struktur kewacanaan.

(2) Kajian Wacana dengan Pendekatan Sosiolinguistik
            Kajian wacana dengan pendekatan sosiolinguistik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi sosiolingguistik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata sosiolingguistik.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan ini adalah aspek sosiolinguistik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) latar dan situasi penuturan wacana, (2) peserta tutur wacana, (3) tujuan penuturan wacana, (4) nada atau semangat penuturan wacana, (5) implikatur, (6) presuposisi, (7) prakondisi, (8) inferensi, (9) unsur lokalitas, dan (10) sarana (media) yang menyertai penuturan wacana, (11) komuniktas tutur, (12) gilir tutur, (13) variasi bahasa, (14) alih dan campur kode, dan (15) campur kata (lectal mix).

(3) Kajian Wacana dengan Pendekatan Pragmatik
            Kajian wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan ini adalah aspek pragmatik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) prinsip dan maksim kesantunan penuturan wacana, (2) prinsip maksim kerjasama penuturan wacana, (3) prinsip dan maksim kelakar dalam  wacana humor, (4) prinsip dan maksim persuasif dalam wacana pariwara, (5) prinsip dan maksim tutur dalam wacana peradilan,    (6) prinsip dan maksim tutur dalam wacana negosiasi,  (7) prinsip dan maksim tutur dalam wacana debat, (8) nilai kesantunan yang terdapat dalam wacana, dan sebagainya.

(4) Kajian Wacana dengan Pendekatan Tindak Tutur
            Kajian wacana dengan pendekatan tindak tutur bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi tindak tutur. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata tindak tutur.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan tindak tutur  adalah unsur  tindak tutur yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) lokusi, (2) ilokusi, (3) perlokusi, (4) tindak konstatif, (5) tindak direktif, (6) tindak komisif, (7) tindak fatis (aknowledgment),  (8) maksud tindak tutur, dan (9) fungsi tindak tutur.
                                                                                      
(5) Kajian Wacana dengan Pendekatan Kritis
            Tahun 1980-an merupakan masa pemantapan bagi kajian analisis wacana. Pada era ini banyak bermunculan teori wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983). Kajian wacana nonkritis ini lebih menekankan kajiannya pada aspek (a) struktur wacana, (b) keteraturan wacana, (c) konteks dan penuturnya, (d)  prinsip tutur, (e) tujuan,  dan (f) fungsi wacana.
            Kajian wacana dengan pendekatan kritis atau disebut analisis wacana kritis (AWK)  berkembang setelah era 1980-an. Tahun 1985 van Dijk membuka dan mengembangkan pokok persoalan (objek kajian wacana) ke arah yang lebih luas, seperti: perspektif gender, politik kekuasaan, emansipasi manusia dan masyarakat. Ide ini disambut baik oleh ahli lain dengan munculnya tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough (1998).
            Aman (2002) menekankan bahwa AWK mampu menguraikan wacana bukan dari sekedar aspek kebahasaan, tetapi juga mengupas praktik dan proses sosial yang tersembunyi di dalam wacana. Berbagai proses dan praktis sosial lain yang biasa dikaji oleh sosiologi, ilmu politik, antropologi, kajian gender, dan kajian media, juga mampu dikupas oleh AWK. Pemanfaatan AWK dalam linguistik akan mampu meningkatkan kedudukan ilmu bahasa (linguistik) sejajar dengan  ilmu-ilmu sosial lain, dan linguistik akan lebih berkembang luas.

Gambaran Dasar Wacana


Bab 1
Gambaran Dasar Wacana

            Pengertian wacana relatif beragam. Keragaman  hasil rumusan muncul, karena sudut pandang keilmuan yang dipakai oleh perumus juga beragam. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Dalam analisis wacana setidaknya ada tiga aliran, yaitu aliran positivisme, konstruktivisme, dan aliran kritis. Analisis wacana telah tumbuh dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, berkat kontak dan persinggungannya dengan ilmu lain.
Istilah wacana dewasa ini banyak dipergunakan di berbagai bidang, sehingga pengertiannya pun beragam dan berkembang. Untuk itu, pada pembahasan ini dibicarakan (1) pengertian wacana, (2) wujud wacana, (3) syarat-syarat wacana, (4) jenis-jenis wacana, (5) kaitan analisis wacana dengan ilmu lainnya, (6)  faham dalam analisis wacana, dan (7)  sejarah singkat analisis wacana.

1. 1 Pengertian Wacana

Ada tiga kelompok pengertian wacana, yakni pengertian wacana yang dikembangkan oleh aliran struktural, fungsional, dan struktural-fungsional (Schiffrin, 1994:23-41). Menurut aliran struktural, wacana merupakan organisasi bahasa di atas tataran kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10). Wacana merupakan unit-unit bahasa yang lebih besar dari klausa atau kalimat. Kridalaksana (1984:208), misalnya, menegaskan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, dalam hierarki satuan gramatikal.
Pengertian wacana menurut pakar linguistik Indonesia, tergolong jenis struktural, yakni mengartikan wacana sebagai  rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain sehingga membentuk kesatuan (Depdikbud, 1988;334). Badudu (2000), misalnya,  mengartikan wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi satu dengan yang lainnya, yang membentuk satu kesatuan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat tersebut. Wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi di atas kalimat dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang jelas, yang disampaikan secara lisan ataupun tulis.
Dalam pandangan fungsional, wacana dianggap sebagai bentuk kebiasaan sosial (Fairelough, 1988:22). Pandangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa (a) bahasa bagian dari masyarakat dan tidak berada di luarnya, (b) bahasa merupakan proses sosial, (c) secara sosial bahasa merupakan proses yang terkondisi oleh faktor non bahasa dari masyarakat. Kondisi sosial tersebut terkait dengan proses produksi dan interpretasi wacana. Dalam pandangan tersebut, wacana adalah bahasa dalam penggunaan untuk berkomunikasi (Cook, 1994:6). Komunikasi kebahasaan tersebut dipandang sebagai aktivitas sosial antara pembicara dan pendengar, yang bentuk aktivitasnya ditentukan oleh tujuan sosialnya (Hawthorn 1992).
Komunikasi lisan atau tulis didasari oleh  kepercayaan, sudut pandang, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya (organisari dan representasi pengalaman) (Fowler, 1977). Dalam komunikasi (lisan atau tulis) itu, wacana berupa pernyataan yang berasal dari berbagai bidang yang bersifat individual atau kelompok (Foucault, 1972).
Menurut aliran struktural-fungsional   wacana merupakan tuturan ungkapan (utterance), yang di dalamnya terdapat unsur struktur, fungsi, dan konteks. Menurut faham ini sebuah wacana (a) dalam tataran sintaktis, wacana mempunyai urutan (sequential), (b) secara semantik dan pragmatik, sebuah wacana   mempunyai tujuan. Untuk memahami wacana, secara sintaktis, penafsir perlu mengenal dan memahami  prinsip-prinsip yang mendasari urutan suatu tuturan, dan tipe tuturannya. Secara semantik penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal dan memahami makna dan cara penggunaannya. Secara pragmatik, penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal organisasi wacana, dan penggunaannya.
Munculnya pengertian wacana yag beragam tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam melihat gejala berupa bahasa. Misalnya, pakar linguistik mengartikan wacana berdasarkan ciri struktural, ukuran wujud, dan media produksi wacana.
Pakar bidang sosiologi mengartikan wacana berdasarkan konteks sosial pemakaian bahasa. Pakar psikologi sosial melihat wacana sebagai suatu pembicaraan, yang mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik pemakaiannya.
Pakar  bidang politik, melihat wacana sebagai strategi politik pemakaian bahasa, karena bahasa (wacana) merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek. Bahasa merupakan media penyampaian ideologi, dan lewat bahasa pula masyarakat bisa menyerap ideologi dari subjek tertentu (Eriyanto, 2001:1-3).
Dekat dengan istilah wacana tersebut dikenal juga istilah teks. Teks menurut Brown dan Yule (1985:6) diartikan secara teknis, yaitu rekaman verbal dari suatu tindak komunikasi (biasanya berupa tulisan atau rekaman cetak). Sebagai rekaman verbal, teks tidak mempunyai konteks (non kebahasaan) yang lengkap, sehingga dapat dikatakan bahwa teks merupakan wacana tanpa konteks (non kebahasaan). Selain rekaman tertulis (cetak), ada bentuk rekaman yang lain, misalnya kaset. Rekaman berupa kaset mempunyai keterbatasan, karena rekaman pita tidak mampu mengakomodasi aspek wacana lain yang diperlukan dalam memahami wacana. Aspek tersebut misalnya latar peristiwa dan konteks non kebahasaan lainnya. Rekaman tertulis mampu mewadahi  apa saja, oleh sebab itu, rekaman tertulis lebih akomodatif.

1.2   Wujud Wacana
Berdasarkan medianya, wacana dapat berupa rangkaian ujaran (tuturan lisan) atau tertulis. Sebagai media komunikasi lisan, wacana dapat berupa (a) sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, (b) penggalan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap yang menggambarkan suatu situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa.
Wacana dalam bentuk tulis dapat berwujud antara lain (a) sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh sebuah alinea yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh. Misalnya: cerita, surat, uraian pengetahuan tertentu; (b) sebuah alinea dikatakan wacana apabila teks itu mempunyai kesatuan misi, korelasi, dan situasi yang utuh; (c) khusus dalam bahasa Indonesia, sebuah wacana dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk kompleks, atau majemuk rapatan, atau sistem elips unsur tertentu (Syamsudin, 1992:8). Sebuah wacana juga dapat dibentuk dengan kata, yang dilengkapi konteks tertentu, sehingga dapat berfungsi.
Wacana dapat berupa (1) unit-unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10), (2) unit-unit bahasa tersebut merupakan satuan yang lengkap, (3) dalam hierarki sistem bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terlengkap (Kridalaksana, 1984:208), dan (4) sebuah wacana biasanya mempunyai berbagai macam satuan, pola, dan relasi (van Dijk dalam Schiffrin, 1994:23-24).
Wacana dialog mempuyai struktur tertentu, yang menggambarkan keteraturan pola interaksi. Wujud keteratutran itu secara sederhana dapat diidentifikasi dari rangkaian satuan lingual, yang oleh Sack (dalam Stubbs, 1983:109) dan Cook (1989:53) disebut pasangan berdekatan (adjacency pair). Pada dasarnya, pasangan berdekatan adalah urutan satuan linggual yang dihasilkan penutur dan peserta tutur yang berbeda (Schiffrin, 1994:340). Pasangam berdekatan itu mempunyai tiga bagian (Sinclar dan Coulthar dalam Stubbs, 1983:28-29), yaitu initiation (I), respon (R), dan feedback (F).  IRF tersebut merupakan struktur dasar wacana, yang variasinya dapat berupa [IR (F)] dan [I(R)].

1.3 Syarat-syarat Wacana
            Untuk dapat berdiri sebagai wacana, beberapa ahli wacana menyebutkan syarat-syarat yang relatif beragam, tetapi tidak bertentangan dan justru saling melengkapi. Wacana akan terbentuk apabila memenuhi persyaratan (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, (3) kohesi dan koherensi, (4) tujuan (fungsi), (5) keteraturan, dan (6) konteks dan ko-teks.
Menurut Oka dan Suparno (1994:260-270) ada tiga persyaratan pokok yang menentukan terbentuknya wacana, yaitu (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, dan (3) kohesi dan koherensi. Sebuah wacana, menurut Widowson (1978:22) mempunyai dua hal penting, yaitu proposisi (sejajar dengan topik) dan tindak tutur (tuturan pengungkap topik).
Sebuah wacana mengungkapkan satu jenis proposisi, yakni topik atau persoalan yang ditutur oleh peserta tutur. Pada saat mengekspresikan proposisi, peserta tutur itu melakukan tindak tutur tertentu (tuturan pengungkap topik), misalnya tindak ilokusi.
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana (kohensi), sehingga tercipta pengertian yang baik (koherensi). Unsur kohesi tersebut misalnya dicapai dengan hubungan sebab-akibat, baik antarklausa maupun antarkalimat (Depdikbud, 1988:343-350).
Tindak tutur dalam peristiwa komunikasi mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Fungsi tersebut menurut van Ek (dalam Hatch, 1992:131-132) untuk (1) tukar-menukar informasi faktual, misalnya untuk mengenali sesuatu, bertanya, dan melaporkan, (2) mengungkapkan informasi intelektual, misalnya: tahu--tidak tahu, ingat--tidak ingat, setuju—tidak setuju, (3) mengungkapkan sikap atau emosi tertentu, misalnya: berminat—kurang berminat, heran—tidak heran, takut—tidak takut, simpati—tidak simpati, cemas—tidak cemas, dan sejenisnya, (4) mengungkapkan sikap moral, misalnya: minta maaf, merasa menyesal, (5) meyakinkan atau mempengaruhi, misalnya memberi saran, memberi nasihat, atau memberi peringatan, (6) asosiasi, misalnya: memperkenalkan dan menyapa.
            Sebuah wacana baik lisan maupun tulis mempunyai keteraturan, baik keteraturan formal (kohesi) maupun keteraturan pola pikir lewat logika isi (koherensi). Kohesi diperlukan utuk menata keteraturan pola pikir lewat kaidah bahasa secara formal. Pada koherensi, keteraturan wacana dimunculkan lewat penataan pola pikir sistemis dan masuk akal.             
            Sebuah wacana hadir dalam konteks tertentu. Konteks wacana terbentuk dari beberapa unsur, yaitu situasi pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran wicara. Bentuk amanat yang dimaksud dapat berupa surat, esai, iklan, pemberiatahuan, atau pengumuman. Kode adalah bahasa yang dipakai dalam wacana, misalnya bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sebagainya. Saluran wicara yang dimkasud adalah media yang digunakan untuk memproduksi wacana, misalnya: telepon, televisi, dan radio.

1.4 Jenis-jenis Wacana
Wacana berdasarkan jumlah patisipan (penuturnya), menurut Oka dan Suparno (1994:271) dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) wacana monolog, (2) wacana dialog, dan (3) wacana polilog. Wacana monolog adalah wacana yang dituturkan oleh seorang partisipan tanpa diikuti oleh partisipan lainnya. Misalnya, kotbah dan ceramah. Wacana yang dituturkan oleh dua orang dalam suatu komunikasi verbal disebut wacana dialog. Apabila suatu komunikasi verbal partisipan (penuturnya) lebih dari dua orang, maka komunikasi itu akan menghasilkan wacana polilog.
Brown dan Yule (1986:1-4) membedakan wacana berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi bahasa tersebut wacana dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar. Contoh jenis ini, misalnya wacana untuk ceramah dan kotbah.
Wacana interaksional adalah wacana yang digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, dan biasanya lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. Contohnya jenis ini adalah wacana dialog dan polilog.
Berdasarkan wujud (realitasnya) sebuah wacana bisa berupa rangkaian kebahasaan dengan segala kelengkapan struktural bahasa (wacana bahasa) dan rangkaian nonbahasa (wacana nonverbal), seperti isyarat dan rangkaian tanda yang bermakna. Isyarat dapat berupa (1) gerak-gerik sekitar kepala dan muka, yang meliputi (a) gerak mata (melotot, berkedip-kedip, menatap tajam), (b) gerak bibir (senyum, tertawa, bersungut-sungut), (c) gerak kepala, (d) perubahan raut muka/mimik (mengerutkan kening, bermuka masam); (2) isyarat dengan anggota tubuh, misalnya (a) gerakan tangan (lambaian tangan, kepalan, acungan telunjuk, acungan ibu jari, tempelan jari ke bibir, dan sebagainya, (b) gerakan kaki (menghentak, mengayun-ayunkan, dan sejenisnya, dan (c) gerakan seluruh tubuh, seperti pantomim.
Klasifikasi wacana dari perspektif produksi akan menghasilkan kategori berdasarkan cara suatu wacana dihasilkan. Pada awalnya, wacana cenderung disampaikan secara langsung (secara lisan). Produksi wacana secara langsung-lisan ini banyak mengalami kendala, karena proses komunikasi langsung tidak selalu bisa terlaksana atau kadang sengaja tidak ingin dilakukan.
Berdasarkan cara produksinya, wacana dapat dipolarisasi menjadi wacana lisan—wacana tulis. Tiap kategori tersebut mempunyai karakteristik yang relatif berbeda. Wacana lisan diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap (pendengar) bisa (perlu) bertatap muka secara langsung. Wacana tulis diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap  (pembaca) tidak bisa (tidak perlu) bertatap muka secara langsung. Asumsi komunikasi langsung dan tak langsung ini mempunyai konsekuensi pada jenis wacana yang akan diproduksi oleh penuturnya.
Walaupun wacana lisan dan tulis ini mempunyai ciri yang berbeda, tetapi keduanya tetap mempunyai posisi yang sama, yaitu sebagai wahana dalam proses komunikasi yang mempunyai konteks, tujuan, dan tema. Dalam kajian analisis wacana, keduanya menjadi objek kajian yang potensial. Brown dan Yule (1985) menekankan bahwa dalam mengkaji wacana sebaiknya memandang  wacana sebagai proses, dan bukan sekedar teks sebagai produk.
Wacana lisan mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan wacana tulis. Brown dan Yule (1985:15-18) menyimpulkan bahwa wacana lisan paling tidak mempunyai ciri sebagai berikut.
(1)   Kalimat-kalimatnya kurang terstruktur, jika dibandingkan dengan bahasa tulis. Dengan ciri-ciri: (a) Banyak kalimat yang tidak lengkap, dan sering berupa rangkaian frasa; (b) Kalimat-kalimatnya tidak banyak subordinasi; dan (c) dalam percakapan tertentu, terdapat bentuk-bentuk deklaratif.
(2)   Tidak banyak menggunakan penanda metalingual, misalnya: selain itu, lebih dari itu, akan tetapi, dan sebagainya. Dalam wacana lisan, kalimat-kalimat  lebih banyak menggunakan parataktis seperti: dan, tetapi, kemudian, dan jika jarang dipakai.  Pembicaraan banyak yang kurang eksplisit jika dibandingkan dengan wacana tulis. Penanda metalingual dalam bahasa tulis, seperti: pertama, kedua, simpulannya, dan sejenis jarang dipakai.
(3)   Banyak kalimat yang berstruktur: topik—sebutan, misalnya: Kucing ini, apa kamu membiarkannya masuk? Dalam wacana tulis, kalimat-kalimatnya lazim berstruktur subjek—predikat.
(4)   Pemakaian konstruksi pasif, dengan tidak menonjolkan pelaku jarang dipakai, sedangkan dalam bahas tulis justru sering dipakai. Konstruksi aktif dengan tidak menonjolkan pelaku banyak dipakai dalam wacana lisan.
(5)    Dalam pembicaraan lingkungan, penutur sering menggunakan arah pandang untuk menentukan referen.
(6)   Untuk menghaluskan ungkapan, penutur sering mengungkapkan pernyataan yang berbeda  dengan referen yang sama. Misalnya: Dosen kita itu, Bapak itu, Beliau, dst.
(7)   Banyak menggunakan kata-kata yang berisi generalisasi, misalnya: banyak…, umumnya…, dan sejenisnya…, dsb.
(8)   Penutur banyak mengulangi bentuk-bentuk sintaksis yang sama.
(9)   Penutur banyak menggunakan frasa “pengisi” waktu: saya kira…, anda tahu…, bila kamu tahu maksud saya…, tolong dipahami…, e…, dsb.

1.5  Kaitan Analisis Wacana dengan Ilmu Lainnya
            Telah dikaui bahwa analisis wacana sudah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, dan merupakan titik temu antara linguistik dengan fisafat, antropologi, sosiologi, psikologi,  sejarah, ilmu hukum, intelegensi artifisial,  ilmu komunikasi masa, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya. Benang merah yang menghubungkan semua ilmu tersebut adalah kesamaan minat pada berbagai fenomena penggunaan bahasa, teks, interaksi percakapan, dan peristiwa komunikasi (van Dijk, 1985).
Pada bidang filsafat, awal tahun 1970-an banyak telaah mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filosof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Dalam suatu konteks sosial tertentu, suatu kalimat apabila digunakan tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5). Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya studi wacana juga memanfaatkan pragmatik sebagai pendekatan dalam mengkaji wacana.
          Dalam bidang antropologi, berkembang etnografi penuturan (komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya, seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi, muncul kajian sosiologi mikro yang dikenal dengan  etnometodologi. Etnometodologi mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang juga juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa pengertian wacana relatif beragam, sesuai dengan sudut pandang keilmuan perumus. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Ilmu analisis wacana tumbuh dan berkembang berkat kontaknya dengan disiplin ilmu lain, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, politik, dan ilmu sosial lainnya.