Kamis, 22 Desember 2011

PENGERTIAN DAN ASPEK PRAGMATIK SERTA HAKIKAT BAHASA

A.   Pengertian Pragmatik

Definisi pragmatik dikemukakan oleh beberapa ahli dengan redaksi yang berbeda. Thomas (1995: 22), dengan mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran, mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning in interaction). Morris (1960) mengatakan bahwa pragmatic merupakan disiplin ilmu yang mempelajari pemakaian tanda, yang secara spesifik dapat diartikan sebagai cara orang menggunakan tanda bahasa dan cara tanda bahasa itu diinterpretasikan. yang dimaksud orang menurut definisi tersebut adalah pemakai tanda itu sendiri, yaitu penutur.
            Menurut Leech (1993:8), Pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar  (speech situations) yang meliputi unsur-unsur penyapa dan yang disapa, konteks, tujuan, tindak ilokusi, tuturan, waktu, dan tempat.
            Yule (1996:3) menyebutkan empat definisi pragmatik , yaitu:
(1)  Bidang yang mengkaji makna penutur;
(2)  Bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya;
(3)  Bidang yang melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan
(4)  Bidang yang mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi participant yang terlibat dalam percakapan tertentu.
Sedangkan Levinson (1987:1) mengatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari hubungan anatara lambang dengan penafsirannya.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahawa pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mengkaji segala aspek makna tuturan berdasarkan maksud penutur.

B.   Aspek-Aspek Pragmatik

Pragmatik adalah suatu kajian yang makna dan hubungannya dengan situasi ujar. adapun aspek-aspek dalam situasi ujar, yaitu:
1.    Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa).
Orang yang menyapa (penutur) dan orang (petutur). Jadi, penggunaan penutur dan petutur membatasi pragmatic pada bahasa lisan saja.

2.    Konteks sebuah tuturan
Berkaitan dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan. Konteks diartikan sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan petutur yang membantu petutur menafsir makna tuturan.

3.    Tujuan sebuah tuturan
Berkaitan dengan maksud penutur mengucapkan sesuatu.

4.    Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegaiatn tindak ujar
Pragmatik berurusan dengan tindak-tindak / performansi-performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu tertentu.

5.    Tuturan sebagai produk tindak verbal
Tindak ilokusi / ilokusi untuk mengacu pada tindakan-tindakan tuturan seperti yang dinyatakan dalam dan memakai istilah tuturan untuk mengacu pada tindakan tuturan seperti yang telah diterangkan dalam tindak ujar. Dengan memakai istilah tuturan untuk mengacu produk linguistic tindakan tersebut. Dengan demikian, dalam komunikasi yang berorientasi tujuan, meneliti sebuah tuturan merupakan usaha merekonstruksi tindakan apa yang menjadi tujuan penutur ketika ia meronstruksi tindakan apa yang menjadi tujan penutur ketika ia memproduksi tuturannya.

C.   Tingkat Bahasa (Tata Bahasa)
Dalam pragmatik terdapat istilah tata bahasa komunikatif yang terdiri dari:
1.    Tata bahasa komunikatif dan daya pragmatik
2.    Metabahasa pragmatik
3.    Aspek penyangkalan dan pertanyaan dalam bahasa Inggris
4.    Implikatur-implikatur sopan-santun

Rabu, 21 Desember 2011

Kejujuran Rahmad Darmawan

Seusai mengundurkan diri sebagai pelatih Tim Nasional Sepak Bola Indonesia Usia di Bawah 23 Tahun (U-23), Rahmad Darmawan mendapat banyak dukungan. Respons yang tak diduganya itu muncul karena pelatih yang mengantarkan Indonesia meraih medali perak SEA Games 2011 tersebut mengekspresikan kejujurannya.

"Ketika memutuskan keluar dari timnas, saya tidak berpikir apa yang saya lakukan didukung atau tidak. Saya hanya jujur mengatakan apa yang ada di dalam hati," kata Rahmad, ketika ditemui di rumahnya di kawasan Karawaci, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu.

Hari itu, sejak pagi Rahmad sibuk membagi waktunya untuk menerima media yang belum juga berhenti membahas sikapnya. Pada 13 Desember lalu, pelatih yang akrab disapa RD ini memberikan surat pengunduran diri sebagai pelatih Timnas U-23 kepada PSSI. Selain merasa bertanggung jawab karena kegagalan Indonesia meraih medali emas, keputusan tersebut juga didasari kekecewaannya kepada PSSI yang melarang atlet dari luar kompetisi PSSI membela tim nasional.

Memilih berhenti sebagai pelatih timnas bukan karena Rahmad menyerah. Dia justru menginginkan adanya pemikiran yang cerdas dari para pengurus sepak bola di negeri ini demi menghasilkan pemain terbaik untuk membela timnas.

Dikotomi antara kompetisi Liga Prima Indonesia dan Liga Super Indonesia menunjukkan, pengurus sepak bola di negeri ini belum bisa menggelar kompetisi yang berkualitas. Hal inilah yang menurut Rahmad menjadi salah satu dari empat faktor penyebab Indonesia kesulitan berprestasi di tingkat internasional, termasuk di level terendah, yaitu Asia Tenggara.

Tiga hal lain yang juga diabaikan adalah pengembangan pemain muda, infrastruktur, dan penyiapan tenaga pelatih. Padahal, keempat faktor yang saling berkaitan ini menjadi dasar terbentuknya kekuatan timnas.

"Dengan kondisi seperti ini, jangankan seorang RD, Jose Mourinho—Pelatih Real Madrid, Spanyol—pun akan sulit untuk membawa Indonesia ke pra-Piala Dunia karena tidak tersedianya semua elemen untuk membangun sebuah tim," komentar Rahmad.

Meski selalu kisruh, pelatih yang berpangkat kapten marinir ini masih memiliki harapan kondisi sepak bola Indonesia akan membaik. Langkah awalnya adanya pembenahan di tubuh PSSI. Setelah itu, barulah menata empat faktor yang dikatakan Rahmad.

Untuk masa depannya sendiri, Rahmad telah menetapkan hati akan tetap berada di jalur teknis. Rahmad memandang dirinya akan tetap menjadi pelatih atau pengurus PSSI yang bertanggung jawab atas hal teknis di lapangan. Ayah dari dua anak ini juga bercita-cita membangun akademi sepak bola.

Filosofi

Karier Rahmad di dunia sepak bola dimulai dengan menjadi pemain di beberapa klub, di antaranya Persija Jakarta dan Persikota Tangerang. Rahmad juga pernah membela Timnas Indonesia pada 1986-1994.

Awal kariernya sebagai pelatih dimulai di Kota Tangerang, tepatnya bersama Persikota. Rahmad kemudian memperluas pengalaman melatih dengan memilih keluar dari Tangerang dan Jakarta, kota tempatnya meniti karier.

Sekembalinya mengikuti kursus kepelatihan di Jerman, dia memilih berlabuh di Persipura Jayapura dan mengantarkan klub itu menjadi yang terbaik di Liga Indonesia 2005.

Tangan dinginnya juga mengantarkan Sriwijaya FC meraih gelar yang sama, dua tahun kemudian. Tak hanya itu, klub yang bermarkas di Palembang, Sumatera Selatan, tersebut juga menjuarai Piala Indonesia tiga kali berturut-turut, 2007-2009.

Di samping terkenal sebagai pelatih lokal tersukses, Rahmad juga dikenal sebagai pelatih yang memiliki atlet yang loyal. Ketika memutuskan pindah dari Persikota ke Persipura, misalnya, beberapa pemain mengikuti langkah Rahmad. Begitu pula ketika pelatih yang hobi bernyanyi dan mengoleksi topi ini hengkang dari Sriwijaya ke Persija. Sebanyak 19 pemain juga memilih mengikuti langkah Rahmad meski akhirnya hanya sembilan orang yang dikontrak Persija.

"Saya sendiri kaget karena tidak mau dikatakan menggembosi pemain. Saya lalu memberikan pemahaman bahwa mereka tak boleh mengambil keputusan hanya karena ingin ikut saya. Mereka harus memikirkan juga kepentingan sendiri dan keluarga," ungkap Rahmad.

Rasa hormat yang akhirnya memunculkan sikap loyal pemain terjadi karena filosofi melatih yang selalu dijalankan pria kelahiran Lampung ini. Dia selalu berprinsip, pelatih tak akan berarti apa-apa jika tidak ada pemain. Prinsip ini kemudian ditularkan kepada pemain bahwa mereka tak berarti apa pun tanpa pelatih dan sesama rekan pemain.

Berdasarkan nilai-nilai inilah Rahmad tak menoleransi atlet yang merasa dirinya pemain bintang. Dia tak segan memberikan sanksi kepada mereka yang bersikap tak profesional karena merasa dirinya hebat. Hal ini beberapa kali dibuktikan dengan mencoret pemain bintang dari tim atau tidak menurunkannya dalam pertandingan, baik di klub maupun timnas.

Rahmad juga selalu berprinsip menggali potensi dan mengesampingkan sejenak nilai negatif seorang pemain. "Ketika ada pemain dengan teknis bagus, tetapi memiliki mental jelek, saya akan memilihnya untuk masuk tim. Di perjalanan, ketika dia menampakkan sifat negatif, saya rangkul untuk diberi pengertian. Ketika dia mengulang hal yang sama, saya beri sanksi di depan semua anggota tim," tutur Rahmad, memberi contoh.

Dengan prinsip tersebut, Rahmad berhasil mendekatkan diri kepada pemain dari sejumlah daerah dengan berbagai karakternya. Apalagi perbedaan karakter kerap muncul di lapangan meski sepak bola sebenarnya memiliki bahasa universal.

Ketika melatih di Jawa, kata Rahmad lagi, dia memiliki tantangan agar pemain menjalankan program latihan sepenuh hati. Sebaliknya, di Papua, tantangannya adalah membuat pemain mau datang berlatih.

"Ketika sudah datang, setiap pemain Papua akan mengeluarkan kemampuan mereka 100 persen. Motivasi mereka tidak perlu diragukan. Di Papua, setiap orang berkompetisi menjadi pahlawan olahraga karena olahragalah yang mengangkat nama baik mereka," ujarnya.

Secara tersirat, Rahmad ingin menyampaikan bahwa pengurus olahraga haruslah memahami karakter masyarakat tiap-tiap daerah. "Jadi, hati-hati mengurus sepak bola kalau tidak paham karakter masyarakatnya," kata Rahmad. (kompas.com)

Sabtu, 17 Desember 2011

Sepak Bolaku Sayang, Sepak Bolaku Malang

Miris melihat kondisi sepak bola Indonesia yang semakin hari semakin tidak menentu nasibnya. Terpilihnya Pak Djohar Arifin Husein sebagai ketua umum PSSI yang baru menggantikan Pak  Nurdin Halid ternyata tidak membuat sepak bola Indonesia dalam kondisi yang lebih baik. Malah kisruh pun menjadi-jadi.  Padahal harapan besar pernah dialamatkan ke pundak pengurus PSSI yang baru yakni menjadikan sepak bola Indonesia kearah  yang lebih baik dan terbebas dari kekisruhan. Tapi harapan itu kini tinggal angan semata. Sepak bola Indonesia malah jatuh ke dalam  kekisruhan lagi.
Dimulai dari adanya dualisme liga. Lagi-lagi ada dua liga di Indonesia. Kalau dulu, LPI (Liga Premier Indonesia) dianggap illegal dan ISL (Indonesian Super League) yang resmi. Maka kini, terbalik  seratus delapan puluh derajat. ISL yang semula resmi pun dianggap illegal. Sementara LPI yang berganti nama menjadi IPL  (Indonesian Premier League) malah dianggap kompetisi resmi dan sudah didaftarkan ke FIFA serta AFC.  Sekali lagi tampaknya, PSSI tidak mau belajar dari pengalaman
sebelumnya. Kalau dulu pernah terbentuk dua liga, mengapa kini  harus ada lagi? Seharusnya kan tidak boleh ada lagi yang namanya dua liga. Kalau sampai terjadi lagi, ini jelas menjadi pertanyaan  besar, ada apa di tubuh PSSI? Barangkali jawabannya adalah politik.Sudah bukan rahasia umum lagi, kalau politik mempunyai peran  dominan di tubuh PSSI. Bukan lagi sekedar “kendaraan” tapi mungkin sudah berkembang menjadi sebuah “industri” politik.  Tujuannya apalagi kalau bukan Pemilu 2014 nanti. Tentu saja, ini sangat disayangkan. Mengingat PSSI adalah organisasi sepak bola  seluruh Indonesia, dimana sepak bola menjadi olahraga paling diminati dan digemari di Indonesia. PSSI bukanlah kendaraan politik
yang bisa ditumpangi untuk tujuan tertentu. Sangat disayangkan apabila organisasi sebesar PSSI harus menjadi  kendaraan politik. Ini jelas tidak bagus bagi bagi kemajuan sepak bola di Indonesia. Karena efeknya akan timbul kekacauan dan saling
gontok-gontokan yang pada akhirnya membuat sepak bola  semakin terpuruk. Seandainya terjadi seperti itu, semuanya hanya bisa cuci tangan (lepas tanggung jawab) dan saling menyalahkan.
Oh, sepak bolaku sayang, sepak bolaku malang. Mengapa kondisimu seperti ini? Tidak ada yang menginginkannya. Semua
pecinta sepak bola di tanah air ingin melihatmu berprestasi tapi sayang belum kesampaian. Yang ada malah kisruh berlanjut pada kisruh, seperti tidak ada ujung pangkalnya. Tidak adakah yang mau mengalah demi kemajuan sepak bola Indonesia?
Tidak adakah keinginan memandang wajah-wajah gembira suporter dan bukan lagi wajah kesedihan? Tidak adakah keinginan menorehkan tinta emas sejarah baru? Tidak adakah keinginan untuk bersatu padu membuka lembaran baru dan meninggalkan dendam lama? Tidak adakah keinginan melihat harapan di mata seorang  anak kecil yang ingin menjadi pemain sepak bola terkenal seperti Messi atau Christiano Ronaldo?
Ah, tidak perlu pusing memikirkan jawabannya. Cukup kita renungkan saja. Biarkan para pengurus PSSI yang menjawabnya. Kalau memang masih mempunyai hati, telinga dan mata yang berfungsi sempurna maka tidak akan sulit untuk mengatakan “Iya, ada”. Dan bukan hanya sekedar mengatakan itu lalu tidak berbuat apa-apa, harus ada langkah nyata untuk mewujudkannya. Kita tunggu saja.
Salam olahraga.