Jumat, 14 Oktober 2011

Pendekatan Wacana


Bab 2
Sejarah dan Faham dalam Kajian Wacana
  
2.1 Sejarah Singkat Analisis Wacana

Dalam tradisi Hindu pengakjian terhadap teks telah lama ada, utamanya teks Weda, yang sampai sekarang berkembang sebagai analisis wacana dalam konteks keagamaan (Samsuri, 1988:1). Di Eropa tepatnya Inggris, tahun 1935, John Rupert Firth pernah menganjurkan agar para linguis menelaah percakapan. Akan tetapi Firth sendiri banyak berfokus pada fonologi, dan anjurannya tidak diperhatikan orang.

Istilah analisis wacana  pertama kali diperkenalkan oleh Harris (1952) dengan mengkaji kaidah bahasa dan menjelaskan bagaimana kalimat-kalimat dalam suatu teks dihubungkan oleh semacam tatabahasa yang diperluas (Cook, 1989:13), dan saat itu Harris banyak ditentang oleh para linguis Amerika yang sepaham dengan Franz Boas, Edward Sapir, dan Bloofield.  Menurut kelompok linguis tersebut, Harris melawan arus, dan kajian bahasa sepatutnya berfokus pada bentuk dan substansi bahasa itu sendiri, bukan aspek lain seperti yang dikaji Harris.

Tahun 1957,  T.F. Mitchell mengikuti saran Firth dengan meneliti proses jual-beli di suatu komunitas di Cyrenaica. Dalam analisis itu Mitchell dengan tegas memperhatikan aspek konteks sosial, sedangkan Harris justru masih ragu-ragu.

Di Eropa (terutama Inggris dan Jerman), tahun 1961 muncul tatabahasa sistemik yang banyak dipelopori oleh Halliday. Dalam kajiannya, banyak dilakukan analisis pengaturan tematik terhadap kalimat, hubungan antarakalimat, dan wacana. Ancangan ini sebenarnya telah lama disarankan oleh linguis Eropa, seperti Bronislaw Malinowski, Vladimir Propp, Mathesius, Karl Buhler, Louis Hjelmslev, dan Firth. Selanjutnya, di Perancis banyak berkembang analisis wacana dengan pendekatan semiotik, dengan tokoh-tokoh seperti Todorov, Barthes, Greimas, dan Eco.
Tahun 1964 di Amerika, Dell Hymes mengembangkan ancangan sosiolinguistik dalam pengkajian wicara, komunikasi, dan bentuk sapaan, yang nantinya akan menjadi kajian wacana yang luas dan berkembang. Setelah itu, analisis wacana di Amerika diteruskan oleh ahli linguistik tagmemik, seperti Knneth Pike (1967) dan konsepsi yang dikembangkan lebih luas daripada Harris. Pada saat itu Pike menganjurkan bahwa penelitian bahasa yang tidak mengenal kamus dan tidak ada informan bilinggual,  dalam meneliti harus memperhatikan segala nuansa makna bahasa  dalam penggunaan, yakni konteks sosialnya.
            Awal tahun 1970-an banyak telaah filsafat mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filsof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Apabila kalimat digunakan dalam suatu konteks sosial, suatu kalimat tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara si penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5).
            Dalam kajian antropologi juga berkembang etnografi penuturan (etnografi komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya; seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi muncul kajian sosiologi mikro yang mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang dikenal etnometodologi. Kajiannya juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff. Tradisi analisis wacana benar-benar berkembang setelah tahun 1970-an. Teori-teori yang dirujuk sebenarnya berasal dari konsepsi lama (klasik) yang telah ada sejak 2.000 tahun yang lampau, serta teori-teori strukturalis bidang linguistik, poetik, antropologi dan psikologi pada akhir tahun 1960-an, yang pada umumnya diilhami pikiran para formalis Rusia dan strukturalis Ceko (van Dijk, 1985:1-2).
            Tahun 1980-an merupakan masa pemantapan bagi kajian analisis wacana. Pada era ini banyak bermunculan teori wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983), dan van Dijk (1985). Pokok persoalan atau fokus kajian pada era ini juga telah meluas, seperti tentang perbedaan gender, politik, emansipasi manusia dan masyarakat, dalam kaitannya dengan wacana. Demikian juga tahun 1990-an, misalnya munculnya tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough (1998).  Tahun 2000-an kajian wacana  berkembang lebih kaya, misalnya munculnya kajian  pengaruh gaya kognitif terhadap produksi wacana (Semino dan Culpeper, 2002).

 

2.2 Faham  dalam Kajian Wacana

1) Faham dalam Analisis Wacana
            Analisis wacana adalah sutau pengkajian terhadap unsur-unsur yang membuat suatu wacana koheren (Cook, 1994:6). Fokus kajian analisis wacana, menurut Crystal (1985) adalah struktur, yang secara alamiah ada pada bahasa lisan, misalnya: percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan tertentu. Pengertian analisis wacana di atas, masih dalam kategori pengertian dasar, karena pengertian tersebut terus berkembang. Ada tiga kelompok analisis wacana, yaitu aliran (a) positivisme-empiris, (b) konstruktivisme, dan (c)  pandangan kritis.
            Menurut faham positivisme-empiris, pengkajian analisis wanaca difokuskan pada keteraturannya, yaitu kegramatikalan kalimat dan kepaduan wacana. Karena menurut faham ini bahasa (wacana) adalah jembatan penghubung antara manusia dengan objek dunia luar, sehingga bahasa (wacana) perlu tertata dengan baik. Analisis wacana tradisi positivistik ini mempelajari aturan-turan yang harus dipenuhi oleh wacana agar suatu wacana baik. Dalam pandangan ini, paradigma subjek—objek komunikasi dipisahkan.  Analisis wacana model ini masih banyak dipengaruhi oleh pola pikir aliran transaksional, dalam memandang bahasa.
            Faham konstruktivisme dalam mengkaji wacana, berbeda dengan faham positisme-empirik. Dalam menelaah wacana, subjek—objek komunikasi tidak dapat dipisahkan. Pola pikir ini banyak dipengaruhi pemikiran fenomenologi. Dalam khasanah ilmu bahasa kelompok ini dikenal aliran interaksional (Wahab, 1998:69). Faham ini melihat subjek komunikasi dan hubungan sosialnya  sebagai aspek sentral. Subjek komunikasi dipandang sebagai pelaku yang mampu mengontrol wacana dengan  maksud-maksud tertentu. Setiap pernyataan adalah tindakan penciptaan makna, pengungkapan diri, dan pembentukan jati diri sang pembicara. Oleh karena itu, analisis wacana model ini dimaksudkan sebagai analisis untuk membongkar maksud dan makna tertentu yang tersembunyi.
Faham kritis (pandangan kritis) dalam menganalisis wacana mempertimbangankan faktor kekuasaan, karena faktor ini berperan dalam membentuk jenis subjek (pelaku) dan perilaku yang mengikutinya.  Dalam proses produksi dan reproduksi wacana, subjek sangat berperan. Oleh karena itu, wacana yang dihasilkan perlu disikapi dengan kritis (dikritisi). Analisis wacana model ini berfokus pada kekuatan subjek dalam memproduksi wacana. Subjek dalam analisis faham kritis dianggab sebagai individu yang tidak netral, sehingga bahasanya pun juga tidak netral. Tujuan analisis wacana jenis ini adalah melihat secara kritis tentang: peran subjek tertentu, tema, perspektif yang dipakai, dan tindakan tertentu yang sedang dilakukan terhadap masyarakat. Karena perspektifnya yang selalu kritis, maka analisis wacana jenis ketiga ini disebut analisis wacana kritis.
Analisis wacana dalam mengkaji bahasa mempunyai sikap yang berbeda dengan linguistik kalimat. Data bahasa dalam analisis wacana berciri (a) bahwa bagian-bagian bahasa itu membentuk satu kesatuan (saling terkait), (b) mengutamakan pencapaian makna, sehingga kebakuan tatabahasa dinomorduakan, (c) bahasa hadir  dalam konteks tertentu, dan (d) data berasal dari hasil observasi (tidak dibuat-buat). Sebaliknya, data bahasa dalam linguistik kalimat, mempunyai ciri (a) kalimat-kalimat lepas, (b) tersusun berdasarkan tatabahasa yang benar, (c) tanpa konteks, dan (d) hasil pemikiran yang cenderung artifisial (Cook, 1994:12).

2) Pendekatan dalam Kajian Wacana
            Sebuah wacana mempunyai dimensi yang luas karena wacana diproduksi oleh masyarakat pemiliknya yang beragam dan kaya budaya. Untuk memahami secara mendalam dan tuntas diperlukan berbagai sudut pandang. Ada lima macam pendekatan dalam mengkaji wacana, yakni pendekatan (a) pendekatan struktural, (b) pendekatan sosiolinguistik, (c) pendekatan pragmatik, (d) pendekatan tindak tutur, dan (e) pendekatan kritis atau dikenal dengan analisis wacana kritis (AWK).
            Pendekatan struktural dalam kajian wacana merupakan kelanjutan dari pola pikir strukturalime dalam kajian linguistik yang telah lama berkembang. Pendekatan struktural menganut faham positivisme-empirik. Pendekatan sosiolinguistik, pragmatik, dan tindak tutur dalam kajian wacana dipopulerkan ulang oleh Schiffrin (1994). Ketiga pendekatan ini menganut faham konstruktif. Kajian wacana dengan pendekatan kritis dipelopori oleh  van Dijck (1998).  Semino dan Culpeper (2002) menambahkan bahwa analisis wacana juga dapat mengkaji gaya kognitif penuturan wacana. Kajian ini menggunakan  teori psikologi atau psikolinguistik. Ini sebuah perspektif yang baru lagi dalam kajian wacana.
            Beberapa pendekatan dalam kajian wacana dapat dipakai secara bersamaan untuk mengkaji wacana sehingga kajiannya bersifat interdisipliner. Kajian interdisipliner yang bersifat majemuk ini juga dikenal dengan faham pascamodern (postmodernism). Faham pascamodern ini banyak diminati ahli karena hasil kajiannya relatif luas dan tidak terkungkung oleh satu disiplin kajian saja. 

(1) Kajian Wacana dengan Pendekatan Struktural
            Kajian wacana dengan pendekatan struktural berasumsi bahwa sebuah wacana adalah suatu struktur yang memiliki berbagai komponen yang saling bekerja sama. Tujuan utama kajian wacana dengan pendekatan struktural adalah menggambarkan substansi suatu wacana sebagai sebuah bangunan.  Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap komponen pembangun wacana dan hubungan antarkomponen (relasi “syn function”) pembangun wacana. 
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan struktural adalah unsur-unsur internal yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) kohesi wacana, (2) koherensi wacana,  (3) konteks dan ko-teks, (4) topik, dan (5) struktur kewacanaan.

(2) Kajian Wacana dengan Pendekatan Sosiolinguistik
            Kajian wacana dengan pendekatan sosiolinguistik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi sosiolingguistik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata sosiolingguistik.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan ini adalah aspek sosiolinguistik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) latar dan situasi penuturan wacana, (2) peserta tutur wacana, (3) tujuan penuturan wacana, (4) nada atau semangat penuturan wacana, (5) implikatur, (6) presuposisi, (7) prakondisi, (8) inferensi, (9) unsur lokalitas, dan (10) sarana (media) yang menyertai penuturan wacana, (11) komuniktas tutur, (12) gilir tutur, (13) variasi bahasa, (14) alih dan campur kode, dan (15) campur kata (lectal mix).

(3) Kajian Wacana dengan Pendekatan Pragmatik
            Kajian wacana dengan pendekatan pragmatik bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi pragmatik. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata pragmatik.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan ini adalah aspek pragmatik yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) prinsip dan maksim kesantunan penuturan wacana, (2) prinsip maksim kerjasama penuturan wacana, (3) prinsip dan maksim kelakar dalam  wacana humor, (4) prinsip dan maksim persuasif dalam wacana pariwara, (5) prinsip dan maksim tutur dalam wacana peradilan,    (6) prinsip dan maksim tutur dalam wacana negosiasi,  (7) prinsip dan maksim tutur dalam wacana debat, (8) nilai kesantunan yang terdapat dalam wacana, dan sebagainya.

(4) Kajian Wacana dengan Pendekatan Tindak Tutur
            Kajian wacana dengan pendekatan tindak tutur bertujuan untuk menggambarkan substansi suatu wacana dengan memanfaatkan epistemologi tindak tutur. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana menurut kacamata tindak tutur.
            Objek kajian wacana   dengan pendekatan tindak tutur  adalah unsur  tindak tutur yang terdapat dalam sebuah wacana. Misalnya memotret dan memahami (1) lokusi, (2) ilokusi, (3) perlokusi, (4) tindak konstatif, (5) tindak direktif, (6) tindak komisif, (7) tindak fatis (aknowledgment),  (8) maksud tindak tutur, dan (9) fungsi tindak tutur.
                                                                                      
(5) Kajian Wacana dengan Pendekatan Kritis
            Tahun 1980-an merupakan masa pemantapan bagi kajian analisis wacana. Pada era ini banyak bermunculan teori wacana, misalnya Stubs (1983), Brown dan Yule (1983). Kajian wacana nonkritis ini lebih menekankan kajiannya pada aspek (a) struktur wacana, (b) keteraturan wacana, (c) konteks dan penuturnya, (d)  prinsip tutur, (e) tujuan,  dan (f) fungsi wacana.
            Kajian wacana dengan pendekatan kritis atau disebut analisis wacana kritis (AWK)  berkembang setelah era 1980-an. Tahun 1985 van Dijk membuka dan mengembangkan pokok persoalan (objek kajian wacana) ke arah yang lebih luas, seperti: perspektif gender, politik kekuasaan, emansipasi manusia dan masyarakat. Ide ini disambut baik oleh ahli lain dengan munculnya tulisan Deborah Schiffrin (1994), Guy Cook (1994), Norman Fairlough (1998).
            Aman (2002) menekankan bahwa AWK mampu menguraikan wacana bukan dari sekedar aspek kebahasaan, tetapi juga mengupas praktik dan proses sosial yang tersembunyi di dalam wacana. Berbagai proses dan praktis sosial lain yang biasa dikaji oleh sosiologi, ilmu politik, antropologi, kajian gender, dan kajian media, juga mampu dikupas oleh AWK. Pemanfaatan AWK dalam linguistik akan mampu meningkatkan kedudukan ilmu bahasa (linguistik) sejajar dengan  ilmu-ilmu sosial lain, dan linguistik akan lebih berkembang luas.

Gambaran Dasar Wacana


Bab 1
Gambaran Dasar Wacana

            Pengertian wacana relatif beragam. Keragaman  hasil rumusan muncul, karena sudut pandang keilmuan yang dipakai oleh perumus juga beragam. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Dalam analisis wacana setidaknya ada tiga aliran, yaitu aliran positivisme, konstruktivisme, dan aliran kritis. Analisis wacana telah tumbuh dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang mandiri, berkat kontak dan persinggungannya dengan ilmu lain.
Istilah wacana dewasa ini banyak dipergunakan di berbagai bidang, sehingga pengertiannya pun beragam dan berkembang. Untuk itu, pada pembahasan ini dibicarakan (1) pengertian wacana, (2) wujud wacana, (3) syarat-syarat wacana, (4) jenis-jenis wacana, (5) kaitan analisis wacana dengan ilmu lainnya, (6)  faham dalam analisis wacana, dan (7)  sejarah singkat analisis wacana.

1. 1 Pengertian Wacana

Ada tiga kelompok pengertian wacana, yakni pengertian wacana yang dikembangkan oleh aliran struktural, fungsional, dan struktural-fungsional (Schiffrin, 1994:23-41). Menurut aliran struktural, wacana merupakan organisasi bahasa di atas tataran kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10). Wacana merupakan unit-unit bahasa yang lebih besar dari klausa atau kalimat. Kridalaksana (1984:208), misalnya, menegaskan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan tertinggi, dalam hierarki satuan gramatikal.
Pengertian wacana menurut pakar linguistik Indonesia, tergolong jenis struktural, yakni mengartikan wacana sebagai  rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi satu dengan proposisi lain sehingga membentuk kesatuan (Depdikbud, 1988;334). Badudu (2000), misalnya,  mengartikan wacana sebagai rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi satu dengan yang lainnya, yang membentuk satu kesatuan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat tersebut. Wacana merupakan kesatuan bahasa terlengkap dan tertinggi di atas kalimat dengan koherensi dan kohesi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang jelas, yang disampaikan secara lisan ataupun tulis.
Dalam pandangan fungsional, wacana dianggap sebagai bentuk kebiasaan sosial (Fairelough, 1988:22). Pandangan ini didasarkan pada pemikiran bahwa (a) bahasa bagian dari masyarakat dan tidak berada di luarnya, (b) bahasa merupakan proses sosial, (c) secara sosial bahasa merupakan proses yang terkondisi oleh faktor non bahasa dari masyarakat. Kondisi sosial tersebut terkait dengan proses produksi dan interpretasi wacana. Dalam pandangan tersebut, wacana adalah bahasa dalam penggunaan untuk berkomunikasi (Cook, 1994:6). Komunikasi kebahasaan tersebut dipandang sebagai aktivitas sosial antara pembicara dan pendengar, yang bentuk aktivitasnya ditentukan oleh tujuan sosialnya (Hawthorn 1992).
Komunikasi lisan atau tulis didasari oleh  kepercayaan, sudut pandang, nilai dan kategori yang masuk di dalamnya (organisari dan representasi pengalaman) (Fowler, 1977). Dalam komunikasi (lisan atau tulis) itu, wacana berupa pernyataan yang berasal dari berbagai bidang yang bersifat individual atau kelompok (Foucault, 1972).
Menurut aliran struktural-fungsional   wacana merupakan tuturan ungkapan (utterance), yang di dalamnya terdapat unsur struktur, fungsi, dan konteks. Menurut faham ini sebuah wacana (a) dalam tataran sintaktis, wacana mempunyai urutan (sequential), (b) secara semantik dan pragmatik, sebuah wacana   mempunyai tujuan. Untuk memahami wacana, secara sintaktis, penafsir perlu mengenal dan memahami  prinsip-prinsip yang mendasari urutan suatu tuturan, dan tipe tuturannya. Secara semantik penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal dan memahami makna dan cara penggunaannya. Secara pragmatik, penyampai dan  penafsir wacana, perlu mengenal organisasi wacana, dan penggunaannya.
Munculnya pengertian wacana yag beragam tersebut disebabkan oleh perbedaan sudut pandang dalam melihat gejala berupa bahasa. Misalnya, pakar linguistik mengartikan wacana berdasarkan ciri struktural, ukuran wujud, dan media produksi wacana.
Pakar bidang sosiologi mengartikan wacana berdasarkan konteks sosial pemakaian bahasa. Pakar psikologi sosial melihat wacana sebagai suatu pembicaraan, yang mirip dengan struktur dan bentuk wawancara dan praktik pemakaiannya.
Pakar  bidang politik, melihat wacana sebagai strategi politik pemakaian bahasa, karena bahasa (wacana) merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek. Bahasa merupakan media penyampaian ideologi, dan lewat bahasa pula masyarakat bisa menyerap ideologi dari subjek tertentu (Eriyanto, 2001:1-3).
Dekat dengan istilah wacana tersebut dikenal juga istilah teks. Teks menurut Brown dan Yule (1985:6) diartikan secara teknis, yaitu rekaman verbal dari suatu tindak komunikasi (biasanya berupa tulisan atau rekaman cetak). Sebagai rekaman verbal, teks tidak mempunyai konteks (non kebahasaan) yang lengkap, sehingga dapat dikatakan bahwa teks merupakan wacana tanpa konteks (non kebahasaan). Selain rekaman tertulis (cetak), ada bentuk rekaman yang lain, misalnya kaset. Rekaman berupa kaset mempunyai keterbatasan, karena rekaman pita tidak mampu mengakomodasi aspek wacana lain yang diperlukan dalam memahami wacana. Aspek tersebut misalnya latar peristiwa dan konteks non kebahasaan lainnya. Rekaman tertulis mampu mewadahi  apa saja, oleh sebab itu, rekaman tertulis lebih akomodatif.

1.2   Wujud Wacana
Berdasarkan medianya, wacana dapat berupa rangkaian ujaran (tuturan lisan) atau tertulis. Sebagai media komunikasi lisan, wacana dapat berupa (a) sebuah percakapan atau dialog yang lengkap dari awal sampai akhir, (b) penggalan percakapan dalam rangkaian percakapan yang lengkap yang menggambarkan suatu situasi, maksud, dan rangkaian penggunaan bahasa.
Wacana dalam bentuk tulis dapat berwujud antara lain (a) sebuah teks atau bahan tertulis yang dibentuk oleh sebuah alinea yang mengungkapkan sesuatu secara berurutan dan utuh. Misalnya: cerita, surat, uraian pengetahuan tertentu; (b) sebuah alinea dikatakan wacana apabila teks itu mempunyai kesatuan misi, korelasi, dan situasi yang utuh; (c) khusus dalam bahasa Indonesia, sebuah wacana dapat dibentuk oleh sebuah kalimat majemuk kompleks, atau majemuk rapatan, atau sistem elips unsur tertentu (Syamsudin, 1992:8). Sebuah wacana juga dapat dibentuk dengan kata, yang dilengkapi konteks tertentu, sehingga dapat berfungsi.
Wacana dapat berupa (1) unit-unit bahasa yang lebih besar daripada kalimat atau klausa (Stubbs, 1983:10), (2) unit-unit bahasa tersebut merupakan satuan yang lengkap, (3) dalam hierarki sistem bahasa, wacana merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terlengkap (Kridalaksana, 1984:208), dan (4) sebuah wacana biasanya mempunyai berbagai macam satuan, pola, dan relasi (van Dijk dalam Schiffrin, 1994:23-24).
Wacana dialog mempuyai struktur tertentu, yang menggambarkan keteraturan pola interaksi. Wujud keteratutran itu secara sederhana dapat diidentifikasi dari rangkaian satuan lingual, yang oleh Sack (dalam Stubbs, 1983:109) dan Cook (1989:53) disebut pasangan berdekatan (adjacency pair). Pada dasarnya, pasangan berdekatan adalah urutan satuan linggual yang dihasilkan penutur dan peserta tutur yang berbeda (Schiffrin, 1994:340). Pasangam berdekatan itu mempunyai tiga bagian (Sinclar dan Coulthar dalam Stubbs, 1983:28-29), yaitu initiation (I), respon (R), dan feedback (F).  IRF tersebut merupakan struktur dasar wacana, yang variasinya dapat berupa [IR (F)] dan [I(R)].

1.3 Syarat-syarat Wacana
            Untuk dapat berdiri sebagai wacana, beberapa ahli wacana menyebutkan syarat-syarat yang relatif beragam, tetapi tidak bertentangan dan justru saling melengkapi. Wacana akan terbentuk apabila memenuhi persyaratan (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, (3) kohesi dan koherensi, (4) tujuan (fungsi), (5) keteraturan, dan (6) konteks dan ko-teks.
Menurut Oka dan Suparno (1994:260-270) ada tiga persyaratan pokok yang menentukan terbentuknya wacana, yaitu (1) topik, (2) tuturan pengungkap topik, dan (3) kohesi dan koherensi. Sebuah wacana, menurut Widowson (1978:22) mempunyai dua hal penting, yaitu proposisi (sejajar dengan topik) dan tindak tutur (tuturan pengungkap topik).
Sebuah wacana mengungkapkan satu jenis proposisi, yakni topik atau persoalan yang ditutur oleh peserta tutur. Pada saat mengekspresikan proposisi, peserta tutur itu melakukan tindak tutur tertentu (tuturan pengungkap topik), misalnya tindak ilokusi.
Sebuah wacana biasanya ditata secara serasi dan ada kepaduan antara unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana (kohensi), sehingga tercipta pengertian yang baik (koherensi). Unsur kohesi tersebut misalnya dicapai dengan hubungan sebab-akibat, baik antarklausa maupun antarkalimat (Depdikbud, 1988:343-350).
Tindak tutur dalam peristiwa komunikasi mempunyai tujuan atau fungsi tertentu. Fungsi tersebut menurut van Ek (dalam Hatch, 1992:131-132) untuk (1) tukar-menukar informasi faktual, misalnya untuk mengenali sesuatu, bertanya, dan melaporkan, (2) mengungkapkan informasi intelektual, misalnya: tahu--tidak tahu, ingat--tidak ingat, setuju—tidak setuju, (3) mengungkapkan sikap atau emosi tertentu, misalnya: berminat—kurang berminat, heran—tidak heran, takut—tidak takut, simpati—tidak simpati, cemas—tidak cemas, dan sejenisnya, (4) mengungkapkan sikap moral, misalnya: minta maaf, merasa menyesal, (5) meyakinkan atau mempengaruhi, misalnya memberi saran, memberi nasihat, atau memberi peringatan, (6) asosiasi, misalnya: memperkenalkan dan menyapa.
            Sebuah wacana baik lisan maupun tulis mempunyai keteraturan, baik keteraturan formal (kohesi) maupun keteraturan pola pikir lewat logika isi (koherensi). Kohesi diperlukan utuk menata keteraturan pola pikir lewat kaidah bahasa secara formal. Pada koherensi, keteraturan wacana dimunculkan lewat penataan pola pikir sistemis dan masuk akal.             
            Sebuah wacana hadir dalam konteks tertentu. Konteks wacana terbentuk dari beberapa unsur, yaitu situasi pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran wicara. Bentuk amanat yang dimaksud dapat berupa surat, esai, iklan, pemberiatahuan, atau pengumuman. Kode adalah bahasa yang dipakai dalam wacana, misalnya bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan sebagainya. Saluran wicara yang dimkasud adalah media yang digunakan untuk memproduksi wacana, misalnya: telepon, televisi, dan radio.

1.4 Jenis-jenis Wacana
Wacana berdasarkan jumlah patisipan (penuturnya), menurut Oka dan Suparno (1994:271) dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu (1) wacana monolog, (2) wacana dialog, dan (3) wacana polilog. Wacana monolog adalah wacana yang dituturkan oleh seorang partisipan tanpa diikuti oleh partisipan lainnya. Misalnya, kotbah dan ceramah. Wacana yang dituturkan oleh dua orang dalam suatu komunikasi verbal disebut wacana dialog. Apabila suatu komunikasi verbal partisipan (penuturnya) lebih dari dua orang, maka komunikasi itu akan menghasilkan wacana polilog.
Brown dan Yule (1986:1-4) membedakan wacana berdasarkan fungsi bahasa. Berdasarkan fungsi bahasa tersebut wacana dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu wacana transaksional dan wacana interaksional. Wacana transaksional adalah wacana yang digunakan untuk mengekspresikan isi atau informasi yang ditujukan kepada pendengar. Contoh jenis ini, misalnya wacana untuk ceramah dan kotbah.
Wacana interaksional adalah wacana yang digunakan untuk menciptakan hubungan sosial dan hubungan personal, dan biasanya lebih menekankan fungsi bahasa sebagai alat interaksi. Contohnya jenis ini adalah wacana dialog dan polilog.
Berdasarkan wujud (realitasnya) sebuah wacana bisa berupa rangkaian kebahasaan dengan segala kelengkapan struktural bahasa (wacana bahasa) dan rangkaian nonbahasa (wacana nonverbal), seperti isyarat dan rangkaian tanda yang bermakna. Isyarat dapat berupa (1) gerak-gerik sekitar kepala dan muka, yang meliputi (a) gerak mata (melotot, berkedip-kedip, menatap tajam), (b) gerak bibir (senyum, tertawa, bersungut-sungut), (c) gerak kepala, (d) perubahan raut muka/mimik (mengerutkan kening, bermuka masam); (2) isyarat dengan anggota tubuh, misalnya (a) gerakan tangan (lambaian tangan, kepalan, acungan telunjuk, acungan ibu jari, tempelan jari ke bibir, dan sebagainya, (b) gerakan kaki (menghentak, mengayun-ayunkan, dan sejenisnya, dan (c) gerakan seluruh tubuh, seperti pantomim.
Klasifikasi wacana dari perspektif produksi akan menghasilkan kategori berdasarkan cara suatu wacana dihasilkan. Pada awalnya, wacana cenderung disampaikan secara langsung (secara lisan). Produksi wacana secara langsung-lisan ini banyak mengalami kendala, karena proses komunikasi langsung tidak selalu bisa terlaksana atau kadang sengaja tidak ingin dilakukan.
Berdasarkan cara produksinya, wacana dapat dipolarisasi menjadi wacana lisan—wacana tulis. Tiap kategori tersebut mempunyai karakteristik yang relatif berbeda. Wacana lisan diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap (pendengar) bisa (perlu) bertatap muka secara langsung. Wacana tulis diproduksi dengan asumsi bahwa antara penutur dan penanggap  (pembaca) tidak bisa (tidak perlu) bertatap muka secara langsung. Asumsi komunikasi langsung dan tak langsung ini mempunyai konsekuensi pada jenis wacana yang akan diproduksi oleh penuturnya.
Walaupun wacana lisan dan tulis ini mempunyai ciri yang berbeda, tetapi keduanya tetap mempunyai posisi yang sama, yaitu sebagai wahana dalam proses komunikasi yang mempunyai konteks, tujuan, dan tema. Dalam kajian analisis wacana, keduanya menjadi objek kajian yang potensial. Brown dan Yule (1985) menekankan bahwa dalam mengkaji wacana sebaiknya memandang  wacana sebagai proses, dan bukan sekedar teks sebagai produk.
Wacana lisan mempunyai ciri-ciri yang berbeda dengan wacana tulis. Brown dan Yule (1985:15-18) menyimpulkan bahwa wacana lisan paling tidak mempunyai ciri sebagai berikut.
(1)   Kalimat-kalimatnya kurang terstruktur, jika dibandingkan dengan bahasa tulis. Dengan ciri-ciri: (a) Banyak kalimat yang tidak lengkap, dan sering berupa rangkaian frasa; (b) Kalimat-kalimatnya tidak banyak subordinasi; dan (c) dalam percakapan tertentu, terdapat bentuk-bentuk deklaratif.
(2)   Tidak banyak menggunakan penanda metalingual, misalnya: selain itu, lebih dari itu, akan tetapi, dan sebagainya. Dalam wacana lisan, kalimat-kalimat  lebih banyak menggunakan parataktis seperti: dan, tetapi, kemudian, dan jika jarang dipakai.  Pembicaraan banyak yang kurang eksplisit jika dibandingkan dengan wacana tulis. Penanda metalingual dalam bahasa tulis, seperti: pertama, kedua, simpulannya, dan sejenis jarang dipakai.
(3)   Banyak kalimat yang berstruktur: topik—sebutan, misalnya: Kucing ini, apa kamu membiarkannya masuk? Dalam wacana tulis, kalimat-kalimatnya lazim berstruktur subjek—predikat.
(4)   Pemakaian konstruksi pasif, dengan tidak menonjolkan pelaku jarang dipakai, sedangkan dalam bahas tulis justru sering dipakai. Konstruksi aktif dengan tidak menonjolkan pelaku banyak dipakai dalam wacana lisan.
(5)    Dalam pembicaraan lingkungan, penutur sering menggunakan arah pandang untuk menentukan referen.
(6)   Untuk menghaluskan ungkapan, penutur sering mengungkapkan pernyataan yang berbeda  dengan referen yang sama. Misalnya: Dosen kita itu, Bapak itu, Beliau, dst.
(7)   Banyak menggunakan kata-kata yang berisi generalisasi, misalnya: banyak…, umumnya…, dan sejenisnya…, dsb.
(8)   Penutur banyak mengulangi bentuk-bentuk sintaksis yang sama.
(9)   Penutur banyak menggunakan frasa “pengisi” waktu: saya kira…, anda tahu…, bila kamu tahu maksud saya…, tolong dipahami…, e…, dsb.

1.5  Kaitan Analisis Wacana dengan Ilmu Lainnya
            Telah dikaui bahwa analisis wacana sudah menjadi disiplin ilmu yang mandiri, dan merupakan titik temu antara linguistik dengan fisafat, antropologi, sosiologi, psikologi,  sejarah, ilmu hukum, intelegensi artifisial,  ilmu komunikasi masa, ilmu politik, dan ilmu sosial lainnya. Benang merah yang menghubungkan semua ilmu tersebut adalah kesamaan minat pada berbagai fenomena penggunaan bahasa, teks, interaksi percakapan, dan peristiwa komunikasi (van Dijk, 1985).
Pada bidang filsafat, awal tahun 1970-an banyak telaah mengenai tindak ujar, yang dipelopori ahli filsafat seperti Austin, Grice, dan Searle. Dalam pandangan filosof ini, uajaran verbal bukan kalimat semata, tetapi bentuk tindakan sosial tertentu. Dalam suatu konteks sosial tertentu, suatu kalimat apabila digunakan tidak hanya memiliki makna kalimat itu sendiri, tetapi  juga mempunyai makna atau fungsi ilokusi, berdasarkan niat, kepercayaan, atau makna antarhubungan antara penutur dan pendengarnya. Perkembangan ini selanjutnya, memberikan dimensi pragmatik terhadap studi wacana (van Dijk, 1985:5). Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya studi wacana juga memanfaatkan pragmatik sebagai pendekatan dalam mengkaji wacana.
          Dalam bidang antropologi, berkembang etnografi penuturan (komunikasi), yang banyak menganalisis peristiwa komunikasi dalam berbagai budaya, seperti dipelopori oleh John Gumperz, Dell Hymes. Dari bidang sosiologi, muncul kajian sosiologi mikro yang dikenal dengan  etnometodologi. Etnometodologi mengkaji penggunaan bahasa alamiah dalam masyarakat tertentu, yang juga juga dikenal dengan analisis percakapan, dengan tokoh-tokoh seperti Harvey Sacks, Erving Goffman, dan Emmanuel Schegloff.
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa pengertian wacana relatif beragam, sesuai dengan sudut pandang keilmuan perumus. Wacana lisan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan wacana tulis. Baik wacana lisan maupun tulis, keduanya menjadi objek kajian analisis wacana. Ilmu analisis wacana tumbuh dan berkembang berkat kontaknya dengan disiplin ilmu lain, misalnya filsafat, antropologi, sosiologi, politik, dan ilmu sosial lainnya.